A response to my friend's post

>> Sabtu, 05 Desember 2015

I don't know if I am over-productive blogger or being insomniac at the moment. Two posts in a row. I was blogrolling and found my friend's post. I haven't asked his permission yet about this, but I hope the allows me to link it. If some time this disappear, well, there must be something about 'linking' issue :D. Apologize.

----

Like any other Indonesian child, I was encouraged to become a leading science student who apparently overwhelmed with homework and additional courses. I had good mark but I never knew what to do out of it. Time went on, I grew up under the same rhythm of default 'Indonesian education'. Now, here I am, a well-performed mediocre.

- What I am interested in is learning. I was blessed with this unemployment status so I can pursue my second higher education, and hopefully the highest is yet to come. I always want to talk about my obsession. Not my general personal obsession, but such weekly obsession with fav music / movies, etc. Currently, I obsess over House of Cards tv series.

- Achievements. Granted Norwegian driving license. The driving test was the most nervous feeling I have ever experienced. The amount of money I spent was the hugest among any kind of test I've enrolled. The preparation before the test was longer than one semester in university. It was crazy I know.


- Goals. This is difficult. So far, I know what I need for life, but I am not really sure what I want for life. How do I put goals in this situation? needs or want? flashback to a film called Swimming with Shark starring Kevin Spacey. He happen to be killer, demanding, ***hole boss to a smart and bright employee. This employee didn't accept on his boss' behaviour on him, so he decide to arrest and abuse him as a revenge. The employee 'won' and the boss suffered. Suddenly, the boss threw back the deep question. "What do you want?" a question of what the employees want for life. Not for now. The situation turned into the opposite led the employee confused and underestimated. This satirical movie putting more weight in my questions bag. What do you want.... Sorry for this rumbling...

Read More.. Read more...

How to be cool


Siang ini saya menyerahkan tugas ‘home exam’ ke petugas administrasi universitas. Beberapa hari sebelumnya saya merasa kalau hasil dari tugas ini akan menjanjikan. Namun semalam perasaan itu sedikit luntur. Saya merasa tidak maksimal dalam hal pengerjaan, dan setelah melihat versi cetak tugas ini.. kelihatannya saya tidak bisa berharap banyak. ‘Tapi sudahlah, toh kuliah s2 yang kedua kali ini harus lebih santai dan nothing to lose. Harus dinikmati tanpa tekanan.’ Begitulah kira-kira suara batin saya sebagai justifikasi dari segala kebodohan.

Pagi hari sebelum menyerahkan tugas, saya bertekad untuk tidak melihat hasil tugas teman lain. Karena, saya khawatir (yakin) tugas mereka lebih baik. Akibatnya pikiran ini pasti galau, hati yang tadinya besar karena harapan menciut bak saldo tabungan. Tiba-tiba ada salah satu teman yang ingin melihat tugas saya. Sayapun tak keberatan. Namun dia memaksa untuk memperlihatkan tugasnya. Saya keberatan. Tapi, sungguh kurang ajar jika acuh dan menolak tawarannya. Saya membuka selembar demi selembar booklet karyanya. Karyanya tidak sesederhana yang saya buat. Lembaran berikutnya berlanjut, lalu terus, dan terus. Saya tidak membaca tulisannya, tetapi menghitung lembaran bookletnya. Mak, betapa banya analisis yang dia buat. Tak peduli kualitas grafis atau penjelasannya, tapi sesuatu mulai membuat saya merasa jadi orang paling tidak berprestasi.
 
Mess on me
Saya meninggalkan kampus dengan menyisakan galau dan risau, lalu akupun meracau. Saya tahu saya bisa lebih baik, tapi mungkin saya memilih tidak untuk itu. Disini krisis terendah dari rangkaian kehidupan sebagai mahasiswa. Berusaha membesarkan hati dengan slogan ‘nothing to lose’ tapi membal. Berusaha mengalihkan perasaan dengan hiburan ternyata mustahil. Sambil menyetir, pikiran ini kilas balik ke beberapa hari yang lalu, ketika saya mengerjakan tugas sambil menonton House of Cards. Mata kiri melihat layar Ipad, dan kanan melihat layar laptop. Otak kana kiri bercampur aduk antara mencerna plot cerita dan menuangkan ide untuk tugas. Telinga sudah pasti hanya berpartisipasi dengan tayangan itu. Mungkin orang akan bilang kalau belajar sambil menonton adalah biang kerok dari kerja yang tidak optimal. Tapi, dari sekian sedikit prestasi yang diraih, multitasking adalah keahlian besar saya yang tidak tercetak di CV. Yakinlah bukan karena itu penyebabnya. Lalu perasaan menyesal karena saya memilih tidur daripada begadang sampai pagi untuk mengerjakan ini. Tapi, bukankah memang kita harus tidur supaya sehat?

Mobil saya parkir rapi di depan rumah teman. Kebetulan sore itu saya akan meminjam alat masak darinya. Kami mengobrol sedikit, ketawa ketiwi seakan saya sedang berada di mood jannah. Kelihatannya diapun terhibur karena saya. Lalu mobil melaju kembali dan berlari menjemput Zahra. Melihat kedatangan saya, Zahra sumringah. Saya pun meraih dan memeluknya, mirip adegan ibu yang lama tak bertemu anaknya karena pesantren selama 3 tahun. Senyum ini selalu menghias wajah saya ketika mendengan ocehannya. Tanggapan bijak seorang ibu saya lontarkan sembari membereskan barang-barang dan bekalnya. Kadang saya melucu dan diapun terpingkal. Saya yakin dia bahagia punya ibu seperti diri ini.

Sampai dirumah, bisa ditebak, sayapun langsung ke dapur dan memasak untuk makan malam. Apapun masakannya, saya selalu memastikan kalau rasa asinnya pas. Alasannya adalah suami saya hanya tahu kalau bumbu masak itu adalah garam, dan anak saya percaya kalau asin dan gurih itu adalah enak. Semua berjalan normal dan membahagiakan. Tak ada raut muka bekas kejadian di kampus. Tak ada ekspresi galau.

Frank Underwood adalah pemeran utama yang antagonis di fil House of Cards. Dia dicinta untuk dibenci. Diperankan oleh Kevin Spacey sang idola, Frank adalah presiden Amerika yang sangat ambisius. Semua orang disekelilingnya menganggap permainannya kotor, tapi dia jujur dengan tidak membantah dan dan meyakinkan bahwa mereka pun sama sepertinya. Dia tak mengerti apa yang ia butuhkan, tapi dia tahu apa yang dia impiannya. Dia sangat mengerti dirinya, dan tahu bagaimana cara memuaskan keinginannya. Apapun gejolak yang dihadapinya, dia mampu menutupi dengan lapisan tipis dari ketenangan dan kewibawaannya.

I am fooling myself and my life fools me back. There’s not much to defend but just being simply cool as Francis Underwood...

Read More.. Read more...

There is something about yesterday

>> Senin, 06 Juli 2015

Sekarang saya berada Indonesia selama liburan Lebaran kali ini. Semenjak turun dari pesawat, semua spektator menyambut kedatangan kami termasuk macet, panas, dan debu-debu. Tiba di rumah, kami disuguhkan dengan berita semrawutnya negeri dan korupnya petinggi bangsa. Belum lagi konten koran yang isinya pencurian dan pemerkosaan. Ketika ingin refreshing keluar rumah, yang ada malah stress karena hampir diserempet motor. Ketika memutuskan untuk di dalam rumah saja.. masak sih cuma di rumah?

Sebenarnya, tidak ada alasan untuk mencintai bumi Indonesia ini.

Tapi ketika saya mengamati ruang kota yang berevolusi, tak peduli kea rah baik atau buruk, saya merasa saya adalah bagian kota ini yang bersama-sama tumbuh dan berubah. Saya menyaksikan kondisi kota dan negara ini dan semua memori tentang itu tersimpan dalam otak yang paling dalam. Kondisi udara yang telah kuhirup berpuluh tahun telah kadung mengalir dalam darah. Partikel beracun yang ada disekitarku akhirnya  berkerak di dalam hati.

Sungguh tidak mungkin aku membenci suatu tempat yang esensinya tersimpan semua dalam tubuhku.

Dan yang paling berkesan adalah sahabat-sahabat disini. Ibarat external harddisk, mereka bantu saya menyimpan data-data berisi kenangan yang hampir saya lupa.

Mendadak romantis deh. Auw.

Read More.. Read more...

Real remedy

>> Kamis, 25 Juni 2015

Once upon a time.. in a very fine day in Dalsnuten, Norway.


Read More.. Read more...

Agony and Remedy

>> Rabu, 24 Juni 2015

Hari ini ini adalah hari ke 6 berpuasa di bulan Ramadhan. Sewaktu di Indonesia saya menahan dahaga di teriknya suhu Indonesia selama dua belas jam. Di Norwegia, saya  berpuasa sembilan belas jam lamanya. Bulan Ramadhan tahun ini jatuh di bulan Juni dimana matahari tenggelam pukul sebelas malam dan terbit pukul setengah empat pagi. Hanya di negeri ini saya merasakan shaum yang persis sama saeperti apa yang dikatakan ustadz-ustadz ketika ceramah tarawih. Menahan lapar, haus, kesabaran, dan ngantuk. Lapar dan haus itu biasa. Kesabaran bisa jadi tidak biasa ketika waktu menunjukan pukul sepuluh malam saat semesta di titik antiklimaks. Sepi, sunyi, yang terdengar hanyalah detik jam dinding yang terdengar kian melambat. Tik.. tok… lalu hening… tik…. Tok…. Sekian lama saya menelusuri internet, waktu masih menujukan sepuluh lewat lima menit. Dan seterusnya sampai rasanya seribu tahun. Saya ingin tidur saja, tapi saya khawatir ketika nanti terbangun, waktu hanya berselang sepuluh menit lamanya.

Ngomong-ngomong soal tidur, pagi tadi saya tidak makan sahur karena ketiduran. Sakitnya tuh dimana-mana. Memang selama ini kualitas tidur saya menurun lantaran belum menyesuaikan diri dengan durasi tidur diantara berbuka dan sahur. Dan momen pagi tadi adalah sebuah manifestasi dari ujian di bulan Ramadhan. Mau batal tapi sayang. Akhirnya saya masih bertahan, dan anehnya, saya merasa kuat dan senang-senang saja.

Berpuasa kali ini bisa jadi ajang kompetisi untuk diri sendiri. Dimana kita bisa mengalahkan ego yang selama ini memperbudak diri kita sendiri. Kenikmatan menaklukan diri  dengan cara berpuasa selama berbelas jam itu rasanya luar biasa.  Saat berbuka, sekejap saja hati ini bahagia seiring dengan meluncurnya seteguk demi seteguk air putih. Lalu bubur kacang hijau hangat yang beraroma pandan dan sedikit kejutan rasa jahe nya. Diiringi dengan celotehan suami yang berubah riang gembira. Semarak malam yang terang yang melatar belakangi momen ini mengalahkan keriangan pasar malam yang cuma kerlip lampu. Imajinasi mengawang ke pemandangan yang luas dan sejuk seperti air tejun adem sari. Rasanya luar biasa. Rasanya luar biasa.


Stavanger, 23 Juni 2015,
10.15 pm

Read More.. Read more...

Uang

>> Selasa, 16 Juni 2015

Jadi bingung mau memulai darimana.

Saya cinta uang.

Ketika saya mendapat uang saya bahagia. Ketika saya harus mengeluarkan uang saya tidak benci. Ketika saya bangga menyebut nominal barang yang dibeli, saya akan melaknat mulut sendiri. Dan ketika saya mendengan orang berbuat serupa.. hmm, saya tidak mengerti perasaan diri sendiri, antara risih ataukah sirik.

Saya ga paham atas artis-artis Indonesia yang mengumbar kekayaan. Walaupun kenyataannya mereka kaya, tapi kenapa moralnya miskin?

Siapapun yang bangga akan uang dan sengaja mengumbar hartanya, sesungguhnya derajatnya berselisih sedikit dengan penjaja diri.

Read More.. Read more...

Moving house part hardcore

>> Sabtu, 06 Juni 2015

Before stuffs came in, everything was delightful. Afterwards, I can't...

Read More.. Read more...

Pawai dan lunglai

>> Rabu, 20 Mei 2015

Dua hari lalu, tepatnya tanggal 17 Mei, seluruh penjuru kota Norwegia merayakan hari konstitusi. Parade dari beragam organisasi dan sekola-sekolah memeriahkan jalanan kota tak terkecuali kota dimana saya tinggal, Stavanger. Walau hujan sempat turun, tapi antusias warga tidak padam. Baik peserta parade maupun para pemirsa menggunakan pakaian rapi. Sebagian besar dari mereka menggunakan pakaian tradisional bernama bunad. Bisa dibayangkan, masyarakat lokal yang dibalut pakaian khas yang cantik itu sungguh sangat memanjakan mata. Jangankan ala tradisional, para bapak, om-om, mas-mas, aa-aa yang menggunakan pakaian jas dan dasi biasa pun mampu mengganggu iman. Semuanya kinclong dan klimis. Apalagi dengan asesoris RayBan yang flashy dan potongan jas funky. Sudah-sudah, cukup.

Kembali ke sejarah* parade 17 Mei, sekitar awal tahun 1900an, Norwegia merupakan bagian dari Denmark. Negara tersebut juga merupakan satu union dengan negara Skandinavia lain yaitu Swedia dan Finland. Di penghujung suatu perang Eropa yang berkepanjangan, Denmark memberikan hak konstitusi untuk Norwegia. Disitulah tradisi parade dimulai, mereka seolah merayakan 'kebebasan'. Akan tetapi, tradisi itu seolah melecehkan sistem dari union yang (sepertinya) kedaulatan masih diatur dari pusat (Swedia). Tapi semuanya berakhir dengan happy-ending. Tradisi itu masih tetap berlangsung karena salah satu raja di Norwegia memperjuangkan kehendak rakyatnya itu. Hari kemerdekaan (dari union) sebenarnya jatuh pada bulan Juni. Tapi pada hari itu, sama sekali tidak ada perayaan apa-apa.

Saya selalu menyebut perayaan konstitusi dengan "tujuhbelasan", dengan merujuk pada tujuhbelasan agustus. Saya  merasa kemeriahan di angka yang sama dengan kemerdekaan Indonesia ini sudah diatur Tuhan. Angka yang mampu membangkitkan rasa rindu dan cinta tanah air. Saya sering membayangkan bedera kecil yang dikibarkan oleh tanganku adalah merah-putih. Entah inikah yang namanya nasionalisme atau lebay-isme. Pengguna batik ini bangganya setengah mati, hatinya besar walau kenyataannya saya tertimbun para pengguna bunad yang tingginya semampai. Tapi tak apa, yang pasti saya sekeluarga bahagia di hari itu. Sampai malam harinyapun kemeriahan 17 Mei berlanjut di jejaring sosial teman-teman disini. Happines sustainability on the air.

Sampai pada akhirnya kemarin, kebahagian luntur bak maskara yang luruh tersapu air mata. Saya kena tiket parkir karena overtime. Di depan mobil saya tertegun dan lunglai melihat selembar tiket kuning langsing yang menyala-nyala seolah membakar mata. Apalagi melihat denda yang harus dibayarkan.... Rasanya ingin sekali bilang kampret ("kamprettt!!) pada diri sendiri yang ceroboh ini. Kini, euforia kibaran bendera norwegia pupus oleh kibaran si tiket kuning.

Hidup ini memang harus seimbang, bahagia, sedih, kesal, harus berjalan bersama-sama. Walau seharusnya bahagialah yang menang. Ya ya..

*sejarah dan opini dengan bumbu gosip. Mohon cek pada fakta yang lebih akurat

Read More.. Read more...

Dari baju bekas sampai telepon marketing

>> Minggu, 17 Mei 2015


#MovingHouse
#ResilientIndividual


Hari ini, proyek cicilan packing untuk pindahan awal bulan depan nanti berlangsung sukses. Sebenarnya yang sukses bukan packingnya, tapi mensortir barang lebih tepatnya lagi baju-baju. Saya baru sadar, ternyata selama 2 tahun menetap di rumah ini, ada lebih dari dua kodi pakaian layak yang tidak pernah digunakan alias mubazir. Mereka haya teronggok di dalam lemari –yang kelihatannya sudah sesak- dan jarang disentuh. Sebetulnya sejak lama saya memang ingin mensortir baju-baju itu. Tapi selalu tertunda dengan alasan sayang-lah, bias di mix match-lah, atau apapun yang bernada kikir dan “hoarder”. Ngomong-ngomong soal hoarder atau penimbun barang, saya jadi curiga kalau sang penimbun itu merepresentasikan hidup yang bukan saja tidak dermawan, tapi juga tidak efisien. Memiliki barang yang hanya diinginkan namun tidak diperlukan. Menyimpan barang yang tidak bermanfaat bagi dirinya sama dengan menggendong tuyul kemana-mana. Dosa.

Setelah menyalurkan berkodi-kodi baju tersebut ke agen penampungan, pandangan terbebas dari penuhnya lemari, hati ini terasa lebih luas. Pindahan rumah memang momen untuk mereview barang-barang* (*baca: hidup). Kita dipaksa untuk menghadapi kenyataan bahwa hidup selama ini itu sumpek, harus dipilih mana yang berguna dan meninggalkan yang sebaiknya jadi milik orang lain. Ternyata, panjang sekali nasihat untuk diri sendiri ini.

Di sisi lain kehidupan pindahan, saya seringkali menerima telepon dari marketing operator telepon, atau jasa untuk bikin website, atau apapun lah itu. Jika saya menerima panggilan mereka, saya berusaha untuk tidak berbincang-bincang lebih dari 2 menit, karena kalau lebih, saya bias tehipnotis dengan rayuan yang benar-benar maut bagai nasi mawut. Saya pernah terbujuk rayuan mereka untuk berlanggan jasa iklan untuk website portofolio saya, yang harganya sungguh tidak murah. Entah mereka yang cerdik atau saya yang bodoh, setelah beberapa saat telepon ditutup, saya baru menyadari bahwa percakapan itu hanyalah bualan si marketing dan sayapun terayu tipu daya muslihat ajaib yang menjerumus.

Pindah rumah kita bisa meninggalkan dan melupakan sesuatu, tapi untuk urusan telepon marketing, kita adalah sasaran empuk yang tak pernah terlupakan.

Read More.. Read more...

Memulai kembali

>> Selasa, 12 Mei 2015

#Movinghouse
#ResilientIndividual

Kemarin sehabis olah raga, badan saya kelelahan dan terasa lemas. Keluhan itu masih terasa sampai malam hari. Rasanya ingin berbaring saja, tak melakukan apa-apa walaupun isi kepala sama sekali tidak kenapa-kenapa. Keesokan harinya yaitu sekarang, detik ini, badan masih seperti kekurangan energi. Saya yakin asupan makanan ok dan istirahat semalam lebih dari cukup. Mungkin ini bukan sekedar kelelahan biasa?

Tahun lalu sampai dengan tahun ini produktivitas saya di bidang desain menurun. Kuliah selasai, kerja tak ada, memulai sesuatu malas. Kondisi yang semua orang bilang tidak produktif ini adalah sebuah “comfort zone” dimana tak-melakukan-apapun-tak-apa, semua sudah terpenuhi dan seharusnya saya tinggal bersyukur saja. Tapi ternyata tidak melulu itu, saya butuh aktivitas yang libih agar bias merangsang produktivitas yang lebih tinggi. Tapi, bagaimana cara memulainya dari diri sendiri. Saya seperti kehilangan petunjuk “how to” karena dari dulu, saya tak pernah memulai sesuatu. Saya sangat ahli dalam meneruskan perjaan yang orang lain mulai. Ibarat vernish kayu, saya bisa memoles kerja jelek menjadi layak dan cantik. Tapi toh vernish tak ada manfaatnya jika tidak ada kayu (walaupun jelek).

Restart, reboot, refresh, because life will never redo.

Lelah ini ternyata pemikiran-pemikiran kosong yang terlalu dibear-besarkan. Rasa bosan, malas, tak berguna bermanifestasi mejadi penyakit yang juga menyerang fisik. Seringkali saya merasa kewalahan meladeni diri sendiri daripada orang lain. Sulit sekali membangun diri sendiri yang tidak pernah bias diajak kompromi. Kali ini saya harus memimpin diri sendiri untuk memulai sesuatu yang baru. Saya yakin kalau kesempatan untuk berkembang sangatlah besar, walau kadang.. masih tak rela meninggalkan buaian comfort zone ini.

Let’s start all over again.

Read More.. Read more...

Sakit

>> Senin, 02 Februari 2015

Saya tidak ingat kapan terakhir kali sakit. Mungkin saat melahirkan? Tapi itupun bukan sakit yang saya maksud. Demam, meriang, dan radang tenggorokan benar-benar membuat saya sakit.. dan lumpuh. Tak biasa mengalami kejadian ini, sayapun mendadak menjadi manja.  Suami sinis dan berkata kalau saya berlagak sekarat. Sepertinya, ia tak terima kalau beberapa porsi pekerjaan rumah tangga harus ia kerjakan karena saya sedang sakit.

Tapi dibalik ke-lebay-an sakit cemen ini, saya menikmati istirahat total. Istirahat yang benar-benar tidak memikirkan kapan masak dan kapan harus mencuci. Sakit ini membuat saru antara istirahat dan tak peduli dan malas. Saya bisa seharian di tempat tidur tanpa harus memikirkan dapur dan rumah yang berantakan. Namun yang membuat prihatin, suami menjadi kewalahan untuk memasak. Sekedar trivia, kebanyakan para suami (Indonesia), mereka lebih mementingkan konsep makro seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Menafkahi dari pekerjaannya di kantor. Urusan rumah biarlah istri yang menjadi komandan. Tapi disaat seperti ini, kestabilan prinsip berumah tangga ala keluarga indonesia goyah. Tak terelakan, istri yang sakit dan suami kompak uring-uringan akan masalahnya masing-masing

Tapi saya menikmati disaat kaki dingin, ada yang menawarkan kompresan hangat. Disaat kepala pusing, ada yang menawarkan salonpas, dan seterusnya. Anak yang selalu bertanya "masih pusing?", atau suami yang membawakan air minum hangat ke tempat tidur membuatku menjadi orang yang begitu berharga. Sungguh indah hidup dibalik sakit. Tak peduli kalau saya dibilang sok sekarat dan manja, tapi saya kepingin sakit terus seperti ini..

Diatas tempat tidur, Januari 2015

Read More.. Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP