Cappuccino Review

>> Rabu, 17 Februari 2016

Saya bukan pecinta kopi, tapi hampir setiap hari minum kopi. Kalau di rumah, saya meracik kopi hitam yang tidak terlalu pekat, setelah itu dicampur krim sedikit. Pengennya sih kopi perkat yang biasa orang Norway minum, tapi apa daya lidah dan jantung gak sinkron. Setiap kali meminum kopoi pekat -apalagi espresso- jantung langsung berdebar-debar, adrenalin meningkat, antusias berlebih, tangan keringetan. Mirip sekali abege jantuh cinta. Karena ini, cara meminum espresso yang paling aman adalah mencampur dengan susu atau coklat. Yang khas dari cara saya meminum kopi adalah selalu menyisakan seperempat kopi. Lalu diminum lagi setelah dingin dan hambar. Yah, entah kebiasaan aneh atau bagaimana, cuma menurut saya, hidup haruslah seimbang antara kenikmatan dan kebahagian. Ketika kopi sedang hangat dan aromanya kuat, itulah kenikmatan minum kopi. Menyeruput crema sambil menghirup aroma gerusan fresh grounded coffe adalah orgaffee (really??). Saat kondisi tersebut sudah tercapai, jangan terbuai. Ingat jangan terbuai. Berhentilah sebelum menjadi adiktif. Di titik itulah saya menyisakan kopi. Setelah berjam-jam barulah saya meneguk sisa nestapa dari hidup. Kopi dingin yang hampir terbuang.


Setelah melantur begitu uninteresting, saya akan mereview cappuccino yang sudah saya coba di kota Stavanger. 

Joe, kamu kan cappuccino, tapi rasanya kok seperti latte. Saya mengobok-obok gelas pink ini supaya espresso di dalamnya tercampur rata. Tapi, sampai dasar gelas tetap saja rasanya seperti mimik cucu. Mas-mas yang meracik kamu ganteng tapi kucel. Mukanya ditekuk dan lempeng, cara bicaranya dengan customer juga kurang gereget. Makanya saya curiga rasamu akan mengundang kemasygulan dari siapapun yang meminumnya. Kamu itu jus kopi yang tenggelam di dalam susu.
















Sejauh ini, cappuccino instant merk Starbuck yang paling the best. Pertama mencicipimu, gulanya pas dan tidak terasa artificial. Tapi kedua kali meneguk rasanya seperti ada coklat (karena itulah saya suka). Setelah di cek komposisinya ternyata memang ada bubuk cokelat. Selain the best karena rasa yang cocok di lidah, Cappuccino Starbuck ini the best atas inkonsistensi antara Mochachino dan Cappuccino.





Yang ini diperuntukan untuk seseorang yang suka tiramsu. Keliatannya baristanya keblinger antara bikin dessert atau minuman kopi, Merk Iskaffe Tine ini  terdiri dari berbagai macam jenis jus kopi antara lain moccachino, original, zero calorie dan sebagainya. Khusus untuk cappuccino ini, kalori sebungkusnya hanya 59 dibandung dengan Starbuck cappuccino yang 71. 
Sesuai dengan sepatah kata di cup ini, rosso cappuccino ini sedep dan cakep. Kopi ini datang dari kios 7Eleven yang jaraknya sepuluh setengah langkah engklek. Saya menambahkan gula satu sendok teh supaya adil dengan kopi instan sebelumnya. Espressonya nonjok dan susunya gurih. Oleh karena itu, efek meminum kamu adalah jantung berdebar dan antusias berlebihan.
Yang ini di post bukan karena Cappuccino nya, tapi karena tulisan di cup nya yang sangat memuji (makasih). Walaupun logonya terlihat setengah saja, tapi semua orang tahu dimana saya membeli jus kopi ini. Sekedar berbagi, saat itu saya memesan pecan strawberry coffee apaaa gitu, gara-gara tergiur dengan plang "todays recommendation'. Tapi sayang, rasanya seperti minum sirop stroberi marjan ditambah gula dan lupa dicampurkan kopi. Kembalikan uangku..



Read More.. Read more...

A response to my friend's post

>> Sabtu, 05 Desember 2015

I don't know if I am over-productive blogger or being insomniac at the moment. Two posts in a row. I was blogrolling and found my friend's post. I haven't asked his permission yet about this, but I hope the allows me to link it. If some time this disappear, well, there must be something about 'linking' issue :D. Apologize.

----

Like any other Indonesian child, I was encouraged to become a leading science student who apparently overwhelmed with homework and additional courses. I had good mark but I never knew what to do out of it. Time went on, I grew up under the same rhythm of default 'Indonesian education'. Now, here I am, a well-performed mediocre.

- What I am interested in is learning. I was blessed with this unemployment status so I can pursue my second higher education, and hopefully the highest is yet to come. I always want to talk about my obsession. Not my general personal obsession, but such weekly obsession with fav music / movies, etc. Currently, I obsess over House of Cards tv series.

- Achievements. Granted Norwegian driving license. The driving test was the most nervous feeling I have ever experienced. The amount of money I spent was the hugest among any kind of test I've enrolled. The preparation before the test was longer than one semester in university. It was crazy I know.


- Goals. This is difficult. So far, I know what I need for life, but I am not really sure what I want for life. How do I put goals in this situation? needs or want? flashback to a film called Swimming with Shark starring Kevin Spacey. He happen to be killer, demanding, ***hole boss to a smart and bright employee. This employee didn't accept on his boss' behaviour on him, so he decide to arrest and abuse him as a revenge. The employee 'won' and the boss suffered. Suddenly, the boss threw back the deep question. "What do you want?" a question of what the employees want for life. Not for now. The situation turned into the opposite led the employee confused and underestimated. This satirical movie putting more weight in my questions bag. What do you want.... Sorry for this rumbling...

Read More.. Read more...

How to be cool


Siang ini saya menyerahkan tugas ‘home exam’ ke petugas administrasi universitas. Beberapa hari sebelumnya saya merasa kalau hasil dari tugas ini akan menjanjikan. Namun semalam perasaan itu sedikit luntur. Saya merasa tidak maksimal dalam hal pengerjaan, dan setelah melihat versi cetak tugas ini.. kelihatannya saya tidak bisa berharap banyak. ‘Tapi sudahlah, toh kuliah s2 yang kedua kali ini harus lebih santai dan nothing to lose. Harus dinikmati tanpa tekanan.’ Begitulah kira-kira suara batin saya sebagai justifikasi dari segala kebodohan.

Pagi hari sebelum menyerahkan tugas, saya bertekad untuk tidak melihat hasil tugas teman lain. Karena, saya khawatir (yakin) tugas mereka lebih baik. Akibatnya pikiran ini pasti galau, hati yang tadinya besar karena harapan menciut bak saldo tabungan. Tiba-tiba ada salah satu teman yang ingin melihat tugas saya. Sayapun tak keberatan. Namun dia memaksa untuk memperlihatkan tugasnya. Saya keberatan. Tapi, sungguh kurang ajar jika acuh dan menolak tawarannya. Saya membuka selembar demi selembar booklet karyanya. Karyanya tidak sesederhana yang saya buat. Lembaran berikutnya berlanjut, lalu terus, dan terus. Saya tidak membaca tulisannya, tetapi menghitung lembaran bookletnya. Mak, betapa banya analisis yang dia buat. Tak peduli kualitas grafis atau penjelasannya, tapi sesuatu mulai membuat saya merasa jadi orang paling tidak berprestasi.
 
Mess on me
Saya meninggalkan kampus dengan menyisakan galau dan risau, lalu akupun meracau. Saya tahu saya bisa lebih baik, tapi mungkin saya memilih tidak untuk itu. Disini krisis terendah dari rangkaian kehidupan sebagai mahasiswa. Berusaha membesarkan hati dengan slogan ‘nothing to lose’ tapi membal. Berusaha mengalihkan perasaan dengan hiburan ternyata mustahil. Sambil menyetir, pikiran ini kilas balik ke beberapa hari yang lalu, ketika saya mengerjakan tugas sambil menonton House of Cards. Mata kiri melihat layar Ipad, dan kanan melihat layar laptop. Otak kana kiri bercampur aduk antara mencerna plot cerita dan menuangkan ide untuk tugas. Telinga sudah pasti hanya berpartisipasi dengan tayangan itu. Mungkin orang akan bilang kalau belajar sambil menonton adalah biang kerok dari kerja yang tidak optimal. Tapi, dari sekian sedikit prestasi yang diraih, multitasking adalah keahlian besar saya yang tidak tercetak di CV. Yakinlah bukan karena itu penyebabnya. Lalu perasaan menyesal karena saya memilih tidur daripada begadang sampai pagi untuk mengerjakan ini. Tapi, bukankah memang kita harus tidur supaya sehat?

Mobil saya parkir rapi di depan rumah teman. Kebetulan sore itu saya akan meminjam alat masak darinya. Kami mengobrol sedikit, ketawa ketiwi seakan saya sedang berada di mood jannah. Kelihatannya diapun terhibur karena saya. Lalu mobil melaju kembali dan berlari menjemput Zahra. Melihat kedatangan saya, Zahra sumringah. Saya pun meraih dan memeluknya, mirip adegan ibu yang lama tak bertemu anaknya karena pesantren selama 3 tahun. Senyum ini selalu menghias wajah saya ketika mendengan ocehannya. Tanggapan bijak seorang ibu saya lontarkan sembari membereskan barang-barang dan bekalnya. Kadang saya melucu dan diapun terpingkal. Saya yakin dia bahagia punya ibu seperti diri ini.

Sampai dirumah, bisa ditebak, sayapun langsung ke dapur dan memasak untuk makan malam. Apapun masakannya, saya selalu memastikan kalau rasa asinnya pas. Alasannya adalah suami saya hanya tahu kalau bumbu masak itu adalah garam, dan anak saya percaya kalau asin dan gurih itu adalah enak. Semua berjalan normal dan membahagiakan. Tak ada raut muka bekas kejadian di kampus. Tak ada ekspresi galau.

Frank Underwood adalah pemeran utama yang antagonis di fil House of Cards. Dia dicinta untuk dibenci. Diperankan oleh Kevin Spacey sang idola, Frank adalah presiden Amerika yang sangat ambisius. Semua orang disekelilingnya menganggap permainannya kotor, tapi dia jujur dengan tidak membantah dan dan meyakinkan bahwa mereka pun sama sepertinya. Dia tak mengerti apa yang ia butuhkan, tapi dia tahu apa yang dia impiannya. Dia sangat mengerti dirinya, dan tahu bagaimana cara memuaskan keinginannya. Apapun gejolak yang dihadapinya, dia mampu menutupi dengan lapisan tipis dari ketenangan dan kewibawaannya.

I am fooling myself and my life fools me back. There’s not much to defend but just being simply cool as Francis Underwood...

Read More.. Read more...

There is something about yesterday

>> Senin, 06 Juli 2015

Sekarang saya berada Indonesia selama liburan Lebaran kali ini. Semenjak turun dari pesawat, semua spektator menyambut kedatangan kami termasuk macet, panas, dan debu-debu. Tiba di rumah, kami disuguhkan dengan berita semrawutnya negeri dan korupnya petinggi bangsa. Belum lagi konten koran yang isinya pencurian dan pemerkosaan. Ketika ingin refreshing keluar rumah, yang ada malah stress karena hampir diserempet motor. Ketika memutuskan untuk di dalam rumah saja.. masak sih cuma di rumah?

Sebenarnya, tidak ada alasan untuk mencintai bumi Indonesia ini.

Tapi ketika saya mengamati ruang kota yang berevolusi, tak peduli kea rah baik atau buruk, saya merasa saya adalah bagian kota ini yang bersama-sama tumbuh dan berubah. Saya menyaksikan kondisi kota dan negara ini dan semua memori tentang itu tersimpan dalam otak yang paling dalam. Kondisi udara yang telah kuhirup berpuluh tahun telah kadung mengalir dalam darah. Partikel beracun yang ada disekitarku akhirnya  berkerak di dalam hati.

Sungguh tidak mungkin aku membenci suatu tempat yang esensinya tersimpan semua dalam tubuhku.

Dan yang paling berkesan adalah sahabat-sahabat disini. Ibarat external harddisk, mereka bantu saya menyimpan data-data berisi kenangan yang hampir saya lupa.

Mendadak romantis deh. Auw.

Read More.. Read more...

Real remedy

>> Kamis, 25 Juni 2015

Once upon a time.. in a very fine day in Dalsnuten, Norway.


Read More.. Read more...

Agony and Remedy

>> Rabu, 24 Juni 2015

Hari ini ini adalah hari ke 6 berpuasa di bulan Ramadhan. Sewaktu di Indonesia saya menahan dahaga di teriknya suhu Indonesia selama dua belas jam. Di Norwegia, saya  berpuasa sembilan belas jam lamanya. Bulan Ramadhan tahun ini jatuh di bulan Juni dimana matahari tenggelam pukul sebelas malam dan terbit pukul setengah empat pagi. Hanya di negeri ini saya merasakan shaum yang persis sama saeperti apa yang dikatakan ustadz-ustadz ketika ceramah tarawih. Menahan lapar, haus, kesabaran, dan ngantuk. Lapar dan haus itu biasa. Kesabaran bisa jadi tidak biasa ketika waktu menunjukan pukul sepuluh malam saat semesta di titik antiklimaks. Sepi, sunyi, yang terdengar hanyalah detik jam dinding yang terdengar kian melambat. Tik.. tok… lalu hening… tik…. Tok…. Sekian lama saya menelusuri internet, waktu masih menujukan sepuluh lewat lima menit. Dan seterusnya sampai rasanya seribu tahun. Saya ingin tidur saja, tapi saya khawatir ketika nanti terbangun, waktu hanya berselang sepuluh menit lamanya.

Ngomong-ngomong soal tidur, pagi tadi saya tidak makan sahur karena ketiduran. Sakitnya tuh dimana-mana. Memang selama ini kualitas tidur saya menurun lantaran belum menyesuaikan diri dengan durasi tidur diantara berbuka dan sahur. Dan momen pagi tadi adalah sebuah manifestasi dari ujian di bulan Ramadhan. Mau batal tapi sayang. Akhirnya saya masih bertahan, dan anehnya, saya merasa kuat dan senang-senang saja.

Berpuasa kali ini bisa jadi ajang kompetisi untuk diri sendiri. Dimana kita bisa mengalahkan ego yang selama ini memperbudak diri kita sendiri. Kenikmatan menaklukan diri  dengan cara berpuasa selama berbelas jam itu rasanya luar biasa.  Saat berbuka, sekejap saja hati ini bahagia seiring dengan meluncurnya seteguk demi seteguk air putih. Lalu bubur kacang hijau hangat yang beraroma pandan dan sedikit kejutan rasa jahe nya. Diiringi dengan celotehan suami yang berubah riang gembira. Semarak malam yang terang yang melatar belakangi momen ini mengalahkan keriangan pasar malam yang cuma kerlip lampu. Imajinasi mengawang ke pemandangan yang luas dan sejuk seperti air tejun adem sari. Rasanya luar biasa. Rasanya luar biasa.


Stavanger, 23 Juni 2015,
10.15 pm

Read More.. Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP