Prinsip?

>> Kamis, 18 Juni 2009

Saya sering bertanya kepada diri sendiri, prinsip itu apa? Apa prinsip hidupku? Ketika saya bertanya pada teman ia menjawab prinsip hidupnya adalah membahagiakan orang lain. Ketika ia bertanya balik padaku, saya menjawab; -tanpa pikir panjang dan mungkin berubah- bahwa prinsip saya adalah mencapai semua cita-cita barulah membahagiakan orang lain.

Teman yang lain menjawab bahwa prinsip hidupnya adalah menjadi manusia yang terbaik. Karena dia berpendapat: "manusia terbaik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain" (langsung di copy-paste dari cetingan YM :D). Saat aku menonton filem bioskop BERSAMBUNG dengan judul Ketika Cinta Bertasbih, si pemeran utama yang ada tahi laler aduhai berkata bahwa sebagai muslim, prinsip hidupnya adalah Al-Quran dan Hadis. Ada juga teman yang menjawab unik. Berikut sepenggal cuplikannya:


Saya : apa prinsip hidup lo?
Teman : Kayak motto gitu yah nis ?
Saya : mmm.... mungkin, ya tergantung org yg menginterpretasikan pertanyaan itu aja..
Teman : Ohh, Apa yah, Bntr *mikir
Saya : 1 titiktitikk.. 2 titiktitiiiikkk, gw juga mikir panjang kalo dtanya itu.. :p
Teman : Egaliter kali nis, Hehe, Prinsip egaliter
Saya: mmm.. aduh gw orang bodoh.. coba jelaskan sedikit apa maksud lo.. hehe
Teman: Anti hirarki sosial,jadi ga ada pelabelan antara senior junior. Kaya miskin. Santri abangan. Dan lain lain nya gitu
Saya: ooo ic..
Saya (dalam hati): edyan ente kapikiran nu mahiwal kitu..

Berdasarkan surpei tsb saya berkesimpulan bahwa prinsip orang itu berbeda2 (ga usah ditanya kali). Bagi saya yang belum menguasai tafsir Quran n Hadis, merasa kesulitan untuk mensaklek-kan seluruh perilaku berdasarkan itu. Prinsip yang makro dan merangkum seluruh norma-norma dan tektek bengek hidup membuatku merasa bingung.. *tanda masih kurang beriman, ngehehe. Menurut saya, membahagiakan orang lain, menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, egaliter, adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial yang penuh kompromi. Jadi, apakah prinsip hidup setiap orang adalah demi orang lain?

Saya pernah membaca satu artikel bahwa prinsip juga didasari atas kekuasaan dan kesenangan. Mmm... kalau begitu prinsip terdiri dari pencapaian kekuasaan, kesenangan, ataupun empati (membahagiakan orang lain) gitu ya? Apakah prinsip itu tetap satu namun mencakup ketiganya, ataukah mereka berdiri sendiri-sendiri?

Kadang kita berpihak pada situasi yang paling menguntungkan dan paling aman. Seteguh apapun hati kita akan suatu prinsip, namun jika kita dihadapkan terhadap situasi yang sangat tidak aman, apakah kita masih berani ambil resiko? Atau berusaha me”renovasi” si prinsip agar terkesan lebih fleksibel?

Bukan maksud mempertanyakan akan penting tidaknya suatu prinsip. Tapi saya hanya ingin tahu sejauh apakah batasan prinsip itu -jika ada- harus dipertahankan.

Read More.. Read more...

Faren

>> Kamis, 11 Juni 2009

Namanya Faren, tetanggaku. Usianya kira-kira 5 tahun. Faren mengaku ibunya telah meninggal dunia, padahal mungkin ia belum tahu kejadian yang sebenarnya. Ayahnya bekerja dari pagi hingga tengah malam, dan Faren pun belum mengerti pekerjaan ayahnya.

Setiap pagi ayahnya mengantar Faren ke sekolah TK, lalu meninggalkannya hingga tiba waktu tengah malam sang ayah menjemput Faren di rumah tetangga dalam keadaan tidur. Dalam rentang waktu antara pertemuan Faren dengan ayahnya, Faren menghabiskan waktu di jalanan. Bermain dan bermain. Siang hari, ia menggunakan uang dari ayahnya untuk membeli makanan yang ia mau demi perut laparnya. Sore hari, saat anak-anak komplek kosku dimandikan, dibedaki bak ondel-ondel, lalu disuapi oleh ibu mereka, Faren berkeliaran di jalanan dengan sukacita tanpa siapa-siapa. Menjelang malam ia mampir ke tempat kosku, bergaul dengan orang dewasa. Ia mendapat simpati dari teman-temanku. Makanan dan susu sering ia cicipi, kertas gambar dan spidol warna ia gunakan mengkespresikan sisi senimannya --yg hanya dlm beberapa menit sudah ia tinggalkan. Namun Faren juga seringkali menjadi objek penderita bagi kami; anak-anak kos. Ia sering terlibat dalam kekonyolan cerita kami, yang sepertinya akan mengganggu sisi psikologis kanak2nya. Yet, Faren still santhay.. *krn tdk mengerti. Sampai akhirnya ia tertidur pukul 12 malam dalam posisi sembarangan, dimanapun.

(sumber gbr: nyari di google)

Faren mendapat kebebasan yang tidak terkontrol dan tidak ia sadari. Dalam bahasa ilmiahnya, ia menganut paham liberalolosdaricontrolparent. Ia adalah cermin dari -hampir- gelandangan. Sepertinya Faren memiliki semua dirinya. Ia mengandalikan diri tanpa pernah berkompromi dengan pikirannya. Tubuhnya digerakkan begitu saja oleh -hanya- dirinya. Batinnya minim akan konflik, sehingga ia jarang mengeluh ataupun menangis. Ia tidak perlu berbagi dengan orang lain, ia justru menerima bagian orang lain. Ia tak peduli kemarin atau besok karna ia hanya mengerti saat ini juga. Ia hidup mandiri dan belajar langsung lewat kehidupan nyata. Ia sebenarnya tak perlu bersikap baik, toh tak orang lain yang menuntut itu dari dirinya. Ia anak kecil yang sudah belajar mencari jati diri tanpa harus mengintegrasikan dirinya. Ia adalah makhluk individual yang sempurna.

Kadang aku ingin merasakan ke-aku-an sepenuhnya dalam hidupku, seperti Faren.

Read More.. Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP