Proyek apa?

>> Sabtu, 16 Februari 2013

Kadang, atau mungkin, selalu, saya kehabisan ide ketika hendak menulis sesuatu. Apa kira-kira yang bisa menginspirasi? Lagu mendayu-dayu sudah diputar sejak sejam yang lalu. Pemanasan sudah dilakukan lebih dari satu jam sebelumnya. Facebook, twitter, youtube.. semua sudah khatam. Namun otak ini sedang malas memberi perintah kepada jari-jari untuk menulis sesuatu. Tapi mungkin cinta bisa. Ini saja.. Tugas projek akhir sejauh ini berjalan lancar, apalagi ketika dua hari lalu saya berdiskusi dengan si dosen. Walau ada beberapa argumen, dan kesalah pahaman karena dia tidak mengetahui konteks keadaan Indonesia, tapi saya semangat untuk meneruskan proyek ini. Mungkin kita namakan proyek cinta. Cinta disini tidak bermakna romantis yang mengumbar perasaan sentimental yang cenderung mengesampingkan logika. Tapi cinta realistis yang dijalankan dengan antusias dan penuh ambisi. Benih cinta di proyek ini adalah karena konteks lokasi yang dipilih Bandung, rumahku. Dengan modal pengalaman hidup lebih dari 20 tahun di Bandung, maka, saya pun merasa canggih untuk menjelaskan situasi dan beberapa ide tentang Bandung, khususnya Alun-alun dan sekitarnya, yang akan menjadi batas permasalahan. Dia pun mangut-mangut, mengambil kertas, pensil, dan mulai merumuskan sesuatu. Semacam dokter setelah mendiagnosis pasiennya. “Mungkin kamu punya lebih dari 15 ide”. Beliau mencoba menuliskan poin-poin dari apa yang sudah kusampaikan. Sesekali menambahkan apa yang ada di pikirannya, mencoret, dan menunjuk-nunjuk sebuah kalimat hingga tertoreh sebuah titik dan garis halus. Dari tempat duduk, saya berusaha untuk membaca tulisan ala dokternya. Tidak bisa. Mungkin nanti saja saya pinjam catatannya. Saya membuat model kawasan Alun-alun sebagai media untuk presentasi padanya. Dan sukses berat. Jerih payah untuk membuat model dengan ukuran satu meter persegi terbayar. Ingin rasanya aku “high five” dengannya. Mungkin sejauh ini, saya masih enggan menunjukkan seluruh foto daerah itu. Saya malu, karena banyak sekali potret kota yang jauh dari ideal. Apalagi dirinya yang berasal dari Negara yang makmur dengan tata kota yang sangat manusiawi dan ideal. Saya mau menunjukkan foto dengan kabel kusut atau seorang anak kecil yang mandi di Sungai Cikapundung, di kolong jalan naripan, tanpa baju, tanpa orang tua. Sempat-sempatnya saya menyembunyikan jati diri yang sebenarnya. Tapi tak apalah, demi cinta pada kota Bandung, saya rela berkedok tebal. Saya tahu ia ingin berkomentar lebih banyak tentang gang Cikapundung. Jalan setapak yang sempit, rumah berdempet dengan orientasi yang tidak keruan. Belum lai motor parkit yang menghalangi jalan minimalis tersebut. Tapi saya lebih dulu menginterupsi bahwa sebuah gang adalah susunan perumahan yang khas di Indonesia, otentik, dan tidak ada duanya. Aktivitas yang bermacam-macam di dalamnya adalah sebuah pengejawantahan dari kehidupan sosial yang alami, dan jujur. Bapak-bapak nongkrong di ruas gang, pintu rumah dibuka lebar, tetangga pun nebeng menonton televisi, bukankah kehidupan seperti itu yang selalu kita umbar sebagai hirarki kedua setelah manusia sebagai makhluk individu? Mungkin ini rasanya membela tempat dimana kita tinggal. Seburuk-buruknya, tetaplah itu rumahku, dimana aku pernah tinggal, dan dibesarkan. Itu adalah rumahku yang membuat tugas ini penuh semangat dan cinta. “Very good.” Setelah hampir satu jam, diapun mengakhiri diskusi hari itu, sambil menyodorkan kertas coretannya yang sekarang menjadi primbonku. Saya belum mau mengubah nama proyek ini.

Read More.. Read more...

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP