How to be cool

>> Sabtu, 05 Desember 2015


Siang ini saya menyerahkan tugas ‘home exam’ ke petugas administrasi universitas. Beberapa hari sebelumnya saya merasa kalau hasil dari tugas ini akan menjanjikan. Namun semalam perasaan itu sedikit luntur. Saya merasa tidak maksimal dalam hal pengerjaan, dan setelah melihat versi cetak tugas ini.. kelihatannya saya tidak bisa berharap banyak. ‘Tapi sudahlah, toh kuliah s2 yang kedua kali ini harus lebih santai dan nothing to lose. Harus dinikmati tanpa tekanan.’ Begitulah kira-kira suara batin saya sebagai justifikasi dari segala kebodohan.

Pagi hari sebelum menyerahkan tugas, saya bertekad untuk tidak melihat hasil tugas teman lain. Karena, saya khawatir (yakin) tugas mereka lebih baik. Akibatnya pikiran ini pasti galau, hati yang tadinya besar karena harapan menciut bak saldo tabungan. Tiba-tiba ada salah satu teman yang ingin melihat tugas saya. Sayapun tak keberatan. Namun dia memaksa untuk memperlihatkan tugasnya. Saya keberatan. Tapi, sungguh kurang ajar jika acuh dan menolak tawarannya. Saya membuka selembar demi selembar booklet karyanya. Karyanya tidak sesederhana yang saya buat. Lembaran berikutnya berlanjut, lalu terus, dan terus. Saya tidak membaca tulisannya, tetapi menghitung lembaran bookletnya. Mak, betapa banya analisis yang dia buat. Tak peduli kualitas grafis atau penjelasannya, tapi sesuatu mulai membuat saya merasa jadi orang paling tidak berprestasi.
 
Mess on me
Saya meninggalkan kampus dengan menyisakan galau dan risau, lalu akupun meracau. Saya tahu saya bisa lebih baik, tapi mungkin saya memilih tidak untuk itu. Disini krisis terendah dari rangkaian kehidupan sebagai mahasiswa. Berusaha membesarkan hati dengan slogan ‘nothing to lose’ tapi membal. Berusaha mengalihkan perasaan dengan hiburan ternyata mustahil. Sambil menyetir, pikiran ini kilas balik ke beberapa hari yang lalu, ketika saya mengerjakan tugas sambil menonton House of Cards. Mata kiri melihat layar Ipad, dan kanan melihat layar laptop. Otak kana kiri bercampur aduk antara mencerna plot cerita dan menuangkan ide untuk tugas. Telinga sudah pasti hanya berpartisipasi dengan tayangan itu. Mungkin orang akan bilang kalau belajar sambil menonton adalah biang kerok dari kerja yang tidak optimal. Tapi, dari sekian sedikit prestasi yang diraih, multitasking adalah keahlian besar saya yang tidak tercetak di CV. Yakinlah bukan karena itu penyebabnya. Lalu perasaan menyesal karena saya memilih tidur daripada begadang sampai pagi untuk mengerjakan ini. Tapi, bukankah memang kita harus tidur supaya sehat?

Mobil saya parkir rapi di depan rumah teman. Kebetulan sore itu saya akan meminjam alat masak darinya. Kami mengobrol sedikit, ketawa ketiwi seakan saya sedang berada di mood jannah. Kelihatannya diapun terhibur karena saya. Lalu mobil melaju kembali dan berlari menjemput Zahra. Melihat kedatangan saya, Zahra sumringah. Saya pun meraih dan memeluknya, mirip adegan ibu yang lama tak bertemu anaknya karena pesantren selama 3 tahun. Senyum ini selalu menghias wajah saya ketika mendengan ocehannya. Tanggapan bijak seorang ibu saya lontarkan sembari membereskan barang-barang dan bekalnya. Kadang saya melucu dan diapun terpingkal. Saya yakin dia bahagia punya ibu seperti diri ini.

Sampai dirumah, bisa ditebak, sayapun langsung ke dapur dan memasak untuk makan malam. Apapun masakannya, saya selalu memastikan kalau rasa asinnya pas. Alasannya adalah suami saya hanya tahu kalau bumbu masak itu adalah garam, dan anak saya percaya kalau asin dan gurih itu adalah enak. Semua berjalan normal dan membahagiakan. Tak ada raut muka bekas kejadian di kampus. Tak ada ekspresi galau.

Frank Underwood adalah pemeran utama yang antagonis di fil House of Cards. Dia dicinta untuk dibenci. Diperankan oleh Kevin Spacey sang idola, Frank adalah presiden Amerika yang sangat ambisius. Semua orang disekelilingnya menganggap permainannya kotor, tapi dia jujur dengan tidak membantah dan dan meyakinkan bahwa mereka pun sama sepertinya. Dia tak mengerti apa yang ia butuhkan, tapi dia tahu apa yang dia impiannya. Dia sangat mengerti dirinya, dan tahu bagaimana cara memuaskan keinginannya. Apapun gejolak yang dihadapinya, dia mampu menutupi dengan lapisan tipis dari ketenangan dan kewibawaannya.

I am fooling myself and my life fools me back. There’s not much to defend but just being simply cool as Francis Underwood...

2 komentar:

Loui 7 Desember 2015 pukul 16.04  

Ayoo semangaat ��
Justru kadang karya yg sederhana itu yg brilian ��

Pintura residencial 24 Desember 2019 pukul 01.12  

Perfeito sem duvida um dos melhores artigos que encontramos no dia de hoje

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP