Pawai dan lunglai

>> Rabu, 20 Mei 2015

Dua hari lalu, tepatnya tanggal 17 Mei, seluruh penjuru kota Norwegia merayakan hari konstitusi. Parade dari beragam organisasi dan sekola-sekolah memeriahkan jalanan kota tak terkecuali kota dimana saya tinggal, Stavanger. Walau hujan sempat turun, tapi antusias warga tidak padam. Baik peserta parade maupun para pemirsa menggunakan pakaian rapi. Sebagian besar dari mereka menggunakan pakaian tradisional bernama bunad. Bisa dibayangkan, masyarakat lokal yang dibalut pakaian khas yang cantik itu sungguh sangat memanjakan mata. Jangankan ala tradisional, para bapak, om-om, mas-mas, aa-aa yang menggunakan pakaian jas dan dasi biasa pun mampu mengganggu iman. Semuanya kinclong dan klimis. Apalagi dengan asesoris RayBan yang flashy dan potongan jas funky. Sudah-sudah, cukup.

Kembali ke sejarah* parade 17 Mei, sekitar awal tahun 1900an, Norwegia merupakan bagian dari Denmark. Negara tersebut juga merupakan satu union dengan negara Skandinavia lain yaitu Swedia dan Finland. Di penghujung suatu perang Eropa yang berkepanjangan, Denmark memberikan hak konstitusi untuk Norwegia. Disitulah tradisi parade dimulai, mereka seolah merayakan 'kebebasan'. Akan tetapi, tradisi itu seolah melecehkan sistem dari union yang (sepertinya) kedaulatan masih diatur dari pusat (Swedia). Tapi semuanya berakhir dengan happy-ending. Tradisi itu masih tetap berlangsung karena salah satu raja di Norwegia memperjuangkan kehendak rakyatnya itu. Hari kemerdekaan (dari union) sebenarnya jatuh pada bulan Juni. Tapi pada hari itu, sama sekali tidak ada perayaan apa-apa.

Saya selalu menyebut perayaan konstitusi dengan "tujuhbelasan", dengan merujuk pada tujuhbelasan agustus. Saya  merasa kemeriahan di angka yang sama dengan kemerdekaan Indonesia ini sudah diatur Tuhan. Angka yang mampu membangkitkan rasa rindu dan cinta tanah air. Saya sering membayangkan bedera kecil yang dikibarkan oleh tanganku adalah merah-putih. Entah inikah yang namanya nasionalisme atau lebay-isme. Pengguna batik ini bangganya setengah mati, hatinya besar walau kenyataannya saya tertimbun para pengguna bunad yang tingginya semampai. Tapi tak apa, yang pasti saya sekeluarga bahagia di hari itu. Sampai malam harinyapun kemeriahan 17 Mei berlanjut di jejaring sosial teman-teman disini. Happines sustainability on the air.

Sampai pada akhirnya kemarin, kebahagian luntur bak maskara yang luruh tersapu air mata. Saya kena tiket parkir karena overtime. Di depan mobil saya tertegun dan lunglai melihat selembar tiket kuning langsing yang menyala-nyala seolah membakar mata. Apalagi melihat denda yang harus dibayarkan.... Rasanya ingin sekali bilang kampret ("kamprettt!!) pada diri sendiri yang ceroboh ini. Kini, euforia kibaran bendera norwegia pupus oleh kibaran si tiket kuning.

Hidup ini memang harus seimbang, bahagia, sedih, kesal, harus berjalan bersama-sama. Walau seharusnya bahagialah yang menang. Ya ya..

*sejarah dan opini dengan bumbu gosip. Mohon cek pada fakta yang lebih akurat

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP