How to be cool
Read More.. Read more...
There is something about yesterday
>> Senin, 06 Juli 2015
Sekarang saya berada Indonesia selama liburan Lebaran kali ini. Semenjak turun dari pesawat, semua spektator menyambut kedatangan kami termasuk macet, panas, dan debu-debu. Tiba di rumah, kami disuguhkan dengan berita semrawutnya negeri dan korupnya petinggi bangsa. Belum lagi konten koran yang isinya pencurian dan pemerkosaan. Ketika ingin refreshing keluar rumah, yang ada malah stress karena hampir diserempet motor. Ketika memutuskan untuk di dalam rumah saja.. masak sih cuma di rumah?
Sebenarnya, tidak ada alasan untuk mencintai bumi Indonesia ini.
Tapi ketika saya mengamati ruang kota yang berevolusi, tak peduli kea rah baik atau buruk, saya merasa saya adalah bagian kota ini yang bersama-sama tumbuh dan berubah. Saya menyaksikan kondisi kota dan negara ini dan semua memori tentang itu tersimpan dalam otak yang paling dalam. Kondisi udara yang telah kuhirup berpuluh tahun telah kadung mengalir dalam darah. Partikel beracun yang ada disekitarku akhirnya berkerak di dalam hati.
Sungguh tidak mungkin aku membenci suatu tempat yang esensinya tersimpan semua dalam tubuhku.
Dan yang paling berkesan adalah sahabat-sahabat disini. Ibarat external harddisk, mereka bantu saya menyimpan data-data berisi kenangan yang hampir saya lupa.
Mendadak romantis deh. Auw.
Agony and Remedy
>> Rabu, 24 Juni 2015
Uang
>> Selasa, 16 Juni 2015
Jadi bingung mau memulai darimana.
Saya cinta uang.
Ketika saya mendapat uang saya bahagia. Ketika saya harus mengeluarkan uang saya tidak benci. Ketika saya bangga menyebut nominal barang yang dibeli, saya akan melaknat mulut sendiri. Dan ketika saya mendengan orang berbuat serupa.. hmm, saya tidak mengerti perasaan diri sendiri, antara risih ataukah sirik.
Saya ga paham atas artis-artis Indonesia yang mengumbar kekayaan. Walaupun kenyataannya mereka kaya, tapi kenapa moralnya miskin?
Siapapun yang bangga akan uang dan sengaja mengumbar hartanya, sesungguhnya derajatnya berselisih sedikit dengan penjaja diri.
Read More.. Read more...Pawai dan lunglai
>> Rabu, 20 Mei 2015
Dua hari lalu, tepatnya tanggal 17 Mei, seluruh penjuru kota Norwegia merayakan hari konstitusi. Parade dari beragam organisasi dan sekola-sekolah memeriahkan jalanan kota tak terkecuali kota dimana saya tinggal, Stavanger. Walau hujan sempat turun, tapi antusias warga tidak padam. Baik peserta parade maupun para pemirsa menggunakan pakaian rapi. Sebagian besar dari mereka menggunakan pakaian tradisional bernama bunad. Bisa dibayangkan, masyarakat lokal yang dibalut pakaian khas yang cantik itu sungguh sangat memanjakan mata. Jangankan ala tradisional, para bapak, om-om, mas-mas, aa-aa yang menggunakan pakaian jas dan dasi biasa pun mampu mengganggu iman. Semuanya kinclong dan klimis. Apalagi dengan asesoris RayBan yang flashy dan potongan jas funky. Sudah-sudah, cukup.
Kembali ke sejarah* parade 17 Mei, sekitar awal tahun 1900an, Norwegia merupakan bagian dari Denmark. Negara tersebut juga merupakan satu union dengan negara Skandinavia lain yaitu Swedia dan Finland. Di penghujung suatu perang Eropa yang berkepanjangan, Denmark memberikan hak konstitusi untuk Norwegia. Disitulah tradisi parade dimulai, mereka seolah merayakan 'kebebasan'. Akan tetapi, tradisi itu seolah melecehkan sistem dari union yang (sepertinya) kedaulatan masih diatur dari pusat (Swedia). Tapi semuanya berakhir dengan happy-ending. Tradisi itu masih tetap berlangsung karena salah satu raja di Norwegia memperjuangkan kehendak rakyatnya itu. Hari kemerdekaan (dari union) sebenarnya jatuh pada bulan Juni. Tapi pada hari itu, sama sekali tidak ada perayaan apa-apa.
Saya selalu menyebut perayaan konstitusi dengan "tujuhbelasan", dengan merujuk pada tujuhbelasan agustus. Saya merasa kemeriahan di angka yang sama dengan kemerdekaan Indonesia ini sudah diatur Tuhan. Angka yang mampu membangkitkan rasa rindu dan cinta tanah air. Saya sering membayangkan bedera kecil yang dikibarkan oleh tanganku adalah merah-putih. Entah inikah yang namanya nasionalisme atau lebay-isme. Pengguna batik ini bangganya setengah mati, hatinya besar walau kenyataannya saya tertimbun para pengguna bunad yang tingginya semampai. Tapi tak apa, yang pasti saya sekeluarga bahagia di hari itu. Sampai malam harinyapun kemeriahan 17 Mei berlanjut di jejaring sosial teman-teman disini. Happines sustainability on the air.
Sampai pada akhirnya kemarin, kebahagian luntur bak maskara yang luruh tersapu air mata. Saya kena tiket parkir karena overtime. Di depan mobil saya tertegun dan lunglai melihat selembar tiket kuning langsing yang menyala-nyala seolah membakar mata. Apalagi melihat denda yang harus dibayarkan.... Rasanya ingin sekali bilang kampret ("kamprettt!!) pada diri sendiri yang ceroboh ini. Kini, euforia kibaran bendera norwegia pupus oleh kibaran si tiket kuning.
Hidup ini memang harus seimbang, bahagia, sedih, kesal, harus berjalan bersama-sama. Walau seharusnya bahagialah yang menang. Ya ya..
*sejarah dan opini dengan bumbu gosip. Mohon cek pada fakta yang lebih akurat
Read More.. Read more...Dari baju bekas sampai telepon marketing
>> Minggu, 17 Mei 2015
Memulai kembali
>> Selasa, 12 Mei 2015
Restart, reboot, refresh, because life will never redo. |
Sakit
>> Senin, 02 Februari 2015
Saya tidak ingat kapan terakhir kali sakit. Mungkin saat melahirkan? Tapi itupun bukan sakit yang saya maksud. Demam, meriang, dan radang tenggorokan benar-benar membuat saya sakit.. dan lumpuh. Tak biasa mengalami kejadian ini, sayapun mendadak menjadi manja. Suami sinis dan berkata kalau saya berlagak sekarat. Sepertinya, ia tak terima kalau beberapa porsi pekerjaan rumah tangga harus ia kerjakan karena saya sedang sakit.
Tapi dibalik ke-lebay-an sakit cemen ini, saya menikmati istirahat total. Istirahat yang benar-benar tidak memikirkan kapan masak dan kapan harus mencuci. Sakit ini membuat saru antara istirahat dan tak peduli dan malas. Saya bisa seharian di tempat tidur tanpa harus memikirkan dapur dan rumah yang berantakan. Namun yang membuat prihatin, suami menjadi kewalahan untuk memasak. Sekedar trivia, kebanyakan para suami (Indonesia), mereka lebih mementingkan konsep makro seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Menafkahi dari pekerjaannya di kantor. Urusan rumah biarlah istri yang menjadi komandan. Tapi disaat seperti ini, kestabilan prinsip berumah tangga ala keluarga indonesia goyah. Tak terelakan, istri yang sakit dan suami kompak uring-uringan akan masalahnya masing-masing
Tapi saya menikmati disaat kaki dingin, ada yang menawarkan kompresan hangat. Disaat kepala pusing, ada yang menawarkan salonpas, dan seterusnya. Anak yang selalu bertanya "masih pusing?", atau suami yang membawakan air minum hangat ke tempat tidur membuatku menjadi orang yang begitu berharga. Sungguh indah hidup dibalik sakit. Tak peduli kalau saya dibilang sok sekarat dan manja, tapi saya kepingin sakit terus seperti ini..
Diatas tempat tidur, Januari 2015