Rahasia
>> Minggu, 22 September 2013
Mandal, 21 september 2013
Mandal, 21 september 2013
Banyak yang tidak sadar bahwa
lemari adalah refleksi dari kehidupan
pribadi kita. Lemari perlu ditutup dan kadang dikunci. Begitu pula dengan diri kita yang perlu
dijaga privasinya. Lemari dibuat dari berbagai jenis warna dan material yang
berbeda. Ada yang sangat gelap, ada juga yang cerah. Ada yang terbuat dari kayu
jati yang keras, dan ada yang hanya ditutup sehelai kain menerawang. Belakangan
saya melihat ada lemari yang terbuat
dari metal tanpa penutup. Lemari yang hanya tersusun dari rangka metal. Mirip jerangkong
yang seluruh jiwanya terekspos. Itu pasti bukan lemari saya.
Beberapa minggu lalu saya
menempati rumah baru. Di dalamnya belum ada lemari. Kala itu pakaian bertumpuk tak
beraturan di atas kopor yang selalu terbuka. Properti lain yang biasa kusimpan
dalam lemari, berserakan minta dicuri. Beragam barang tidak terorganisir dengan rapi, semua tercerai
berai seperti uang gopek saweran. Saya tidak bisa lagi mengelompokkan jenis
baju, tak bisa lagi memilah dokumen yang masuk di lemari, dan tidak bisa lagi meyembunyikan
pakaian kotor dibalik pintu lemari.
Disaat itu saya kehilangan sebuah perangkat untuk mengatur diri. Oleh
karenanya, fokus pada saat itu adalah membeli lemari. Saya menangguh untuk membeli
ranjang dan tidur di atas lantai beralas matras hanya untuk memprioritaskan membeli
sebuah lemari. Sungguh! Namun sayangnya, tidak gampang mendapatkan lemari yang
pas. Untuk yang berkualitas bagus, harganya terlalu mahal. Untuk kualitas “kw3”,
“kw4”, sampai kalong wewe, hati ini tidak sudi menerima. Untuk yang kualitas menengah……
rasanya saya ingin membeli kualitas bagus dengan harga seminim mungkin.
Demikian prinsip ekonomi (orang pas-pasan).
Akibatnya pertimbangan itu lemaripun tak kunjung hadir di rumah. Beribu
toko sudah disambangi. Belum ada yang pas dihati. Kalaupun ada, harganya tidak
pas di kantong. Sayapun seringkali pulang dengan tangan kosong.
Bukan berarti saya kaum
ekstrimis kere. Tapi ada hal yang membuat saya bingung memilih lemari. Rumah
yang sekarang ditempati adalah rumah sementara. Saya ingin mempunyai lemari
yang berkapasitas besar (karena rumah ini tidak ada gudang), namun mudah untuk
dibongkar-pasang. Sayapun ingin yang berkualitas bagus sebagai investasi jangka
panjang, Tapi saya juga ingin yang harganya tergangkau.
Seminggu tanpa lemari jiwa
ini galau. Apalagi ketika Zahra berpartisipasi untuk mengobrak-abrik isi kopor.
Ikat pinggang, celana dalam, kacamata, dan beberapa mainan Zahra bergabung dalam
satu paguyuban. Cucian kering dan wangi yang seharusnya langsung masuk lemari,
terpaksa ditata diatas meja belajar. Sudah tak kuat lagi, akhirnya saya mantap
memiilih satu jenis lemari. Disertai Bismillah, saya pergi ke toko, dan
menanyakan barang itu. Ternyata, barangnya tidak ada. Selanjutnya saya
menyambangi toko lain. Ada! Namun harus memesan selama satu minggu. Orang sabar
disayang Tuhan, saya pun memesan dan menunggu seminggu lagi.
Lemariku adalah separuh jiwa yang
belum datang. Dibaliknya biasa saya simpan segalanya. Baju hitam, baju putih.
Kain kasar, kain lembut. Dokumen penting, properti pribadi, perhiasan, dan sejuta
dolar (yang ini bohong).. Kalau lemari mulai berantakan, saya harus segera
bebenah, jangan sampai area pakaian dalam bercampur dengan sejuta dolarku itu. Manifestasi
sebuah lemari merupakan sejuta sisi dalam diri saya. Jika ada yang menanyakan
tentang saya, tanya saja nanti lemariku.
Seminggu tiba saatnya. Saya
bersiap menjemput lemari. Namun sang petugas toko berujar lewat telepon bahwa
lemari belum tiba, dan harus menunggu tiga hari berikutnya. Ternyata, masih harus
menunggu beberapa hari sampai hidup ini sedikit lebih teratur. Dan sejujurnya, sayapun belum yakin berapa jumlah lemari yang benar-benar membuat diri ini "teratur".
Kampret!
Si Proyek cinta selesai. Tapi apa cinta kepadanya bisa sirna?
Waktu kaki ini melangkah menuju auditorium, perasaanku sangat biasa.
Mungkin itu dikarenakan kesederhanaan yang disuguhkan kampusku.
Kemegahan yang biasanya terjadi di resepsi kelulusan tidak tampak. Ruang
akustik kayu dengan warna terang dan cahaya matahari musim semi yang
hangat menyatukan keluarga kecil di kampus. Para wisudawan berjalan
diiriingi riuh tepuk tangan keluarga. Bagaikan musisi selepas konser.
Lalu saya melihat ke jajaran depan. Tampak rektor beserta para petinggi
kampus. Tidak heran, toh mereka yang selama ini memimpin dan memerintah.
Lalu aku mencari keluargaku. Lalu supervisorku. Mereka tidak duduk di
depan.
Saya belajar sesuatu dari hal ini. Orang yang
duduk di belakang adalah seorang pendengar yang baik. Dia lebih tenang
dan tidak ambisius. Seorang bijak yang selalu mengalah walau disertai
sindiran. Yang paling pasti, dia adalah pendukung setia dan tulus akan
kemanapun arah tujuanku. Orang yang duduk di belakang selalu tersenyum
dikala susah. Dan aku termasuk orang yang duduk dibelakang, apalagi kalau
kursi jajaran depan penuh.
Saat ku duduk di -jajaran belakang- area wisudawan, perasaan sentimentil muncul. Aku berpikir bahwa inilah saatnya
aku meninggalkan kampus beserta proyek cinta. Lega karena akhirnya
beban studi selesai, namun disisi lain sedih karena aku akan
meninggalkan sesuatu yang biasa ku lakukan. Seandainya kampus ini adalah
manusia, ia adalah seseorang yang menyaksikan dedikasiku pada masa
depan sekaligus penghiatan pada diri sendiri yang sebenarnya menolak
melakukan itu. Ini salah itu salah, cinta ini cinta itu. Walau
bagaimanpun sebagian kejadian di kampus tetap kusimpan dalam harddisk komputer berupa file
tugas, dan ada juga yang kubiarkan melekat dalam hati dan menari-nari di
pikiranku.
Selamat tinggal momenku di kampus. Saya
hanya ingin membawa kenangan yang indah. Khusus untuk kasus ini, saya rela bila
cinta ini luntur. Lagian tak ada gunanya mencintai yang tak mencintaiku,
ya kampus? Walau sangat banyak memberi, kamu mungkin bukan yang
terpenting bagiku. Dirimu selalu merangkul dari dinginnya salju itu,
tapi kamu tetap tak mampu menghangatkan hidupku. Walau kau yang kutuju
pada saat itu, bukan berarti dirimu adalah muara harapanku.
Namun tiba-tiba ada yang berbisik berbisik samar padaku; "I'll miss you, I love you".
Cinta sejati tidak mungkin padam, tapi bisa sedikit direkayasa.
Galau..
Hello,
I'm sorry, but I'm sure you'll be ok.
Needn't say say until I know what will happen.
Have you seen it?
Yes, they're nice
Am I misunderstood or you drunk saying good things over someone's work?
both.
There are nice things from what you already wrote.
Which one? I revised so many times
Mmmmmmmm...
Hey, was there any unexpected questions?
You supposed to be there so you don't have to ask.
HEY DON'T SMILE LIKE THAT!
Beberapa hari
yang lalu, Sang ustadz gaul alias Jeffry Al-Buchori meninggal dunia karena
kecelakaan motor. Walaupun saya bukan fans-nya, tapi kepergian beliau cukup
membuat perasaanku ini sedih atas kehilangannya. Innalillahi wainnailaihi
Rajiun.
Kadang, atau mungkin, selalu, saya kehabisan ide ketika hendak menulis sesuatu. Apa kira-kira yang bisa menginspirasi? Lagu mendayu-dayu sudah diputar sejak sejam yang lalu. Pemanasan sudah dilakukan lebih dari satu jam sebelumnya. Facebook, twitter, youtube.. semua sudah khatam. Namun otak ini sedang malas memberi perintah kepada jari-jari untuk menulis sesuatu. Tapi mungkin cinta bisa. Ini saja.. Tugas projek akhir sejauh ini berjalan lancar, apalagi ketika dua hari lalu saya berdiskusi dengan si dosen. Walau ada beberapa argumen, dan kesalah pahaman karena dia tidak mengetahui konteks keadaan Indonesia, tapi saya semangat untuk meneruskan proyek ini. Mungkin kita namakan proyek cinta. Cinta disini tidak bermakna romantis yang mengumbar perasaan sentimental yang cenderung mengesampingkan logika. Tapi cinta realistis yang dijalankan dengan antusias dan penuh ambisi. Benih cinta di proyek ini adalah karena konteks lokasi yang dipilih Bandung, rumahku. Dengan modal pengalaman hidup lebih dari 20 tahun di Bandung, maka, saya pun merasa canggih untuk menjelaskan situasi dan beberapa ide tentang Bandung, khususnya Alun-alun dan sekitarnya, yang akan menjadi batas permasalahan. Dia pun mangut-mangut, mengambil kertas, pensil, dan mulai merumuskan sesuatu. Semacam dokter setelah mendiagnosis pasiennya. “Mungkin kamu punya lebih dari 15 ide”. Beliau mencoba menuliskan poin-poin dari apa yang sudah kusampaikan. Sesekali menambahkan apa yang ada di pikirannya, mencoret, dan menunjuk-nunjuk sebuah kalimat hingga tertoreh sebuah titik dan garis halus. Dari tempat duduk, saya berusaha untuk membaca tulisan ala dokternya. Tidak bisa. Mungkin nanti saja saya pinjam catatannya. Saya membuat model kawasan Alun-alun sebagai media untuk presentasi padanya. Dan sukses berat. Jerih payah untuk membuat model dengan ukuran satu meter persegi terbayar. Ingin rasanya aku “high five” dengannya. Mungkin sejauh ini, saya masih enggan menunjukkan seluruh foto daerah itu. Saya malu, karena banyak sekali potret kota yang jauh dari ideal. Apalagi dirinya yang berasal dari Negara yang makmur dengan tata kota yang sangat manusiawi dan ideal. Saya mau menunjukkan foto dengan kabel kusut atau seorang anak kecil yang mandi di Sungai Cikapundung, di kolong jalan naripan, tanpa baju, tanpa orang tua. Sempat-sempatnya saya menyembunyikan jati diri yang sebenarnya. Tapi tak apalah, demi cinta pada kota Bandung, saya rela berkedok tebal. Saya tahu ia ingin berkomentar lebih banyak tentang gang Cikapundung. Jalan setapak yang sempit, rumah berdempet dengan orientasi yang tidak keruan. Belum lai motor parkit yang menghalangi jalan minimalis tersebut. Tapi saya lebih dulu menginterupsi bahwa sebuah gang adalah susunan perumahan yang khas di Indonesia, otentik, dan tidak ada duanya. Aktivitas yang bermacam-macam di dalamnya adalah sebuah pengejawantahan dari kehidupan sosial yang alami, dan jujur. Bapak-bapak nongkrong di ruas gang, pintu rumah dibuka lebar, tetangga pun nebeng menonton televisi, bukankah kehidupan seperti itu yang selalu kita umbar sebagai hirarki kedua setelah manusia sebagai makhluk individu? Mungkin ini rasanya membela tempat dimana kita tinggal. Seburuk-buruknya, tetaplah itu rumahku, dimana aku pernah tinggal, dan dibesarkan. Itu adalah rumahku yang membuat tugas ini penuh semangat dan cinta. “Very good.” Setelah hampir satu jam, diapun mengakhiri diskusi hari itu, sambil menyodorkan kertas coretannya yang sekarang menjadi primbonku. Saya belum mau mengubah nama proyek ini.
Read More.. Read more...Hari yang melelahkan. Ingin rasanya berbaring, dan melayangkan segala beban tugas sekolah dari pikiran. Tapi sepertinya harus ditunda dulu. Waktu belum mau berkompromi, ia berjalan terus layaknya truk tronton dengan rem yang blong. Taka da ampun menyapu seluruh halang di depannya. Pagi tadi cuaca cukup “hangat” di winter ini, nol derajat celcius. Jalanan licin karena salju yang menjair dan sebagian berubah mejadi es. Walau beberapa kali hamper terpeleset, Zahra selamat sampai di daycare. Sejurus kemudian, aku melesatkan tubuh ke kampus. Wussssshh, memang, kalau urusan sekolah, harus cepat. Jalan seperti ninja, bekerja seperti intel core i7, dan tidur seperti ikan. Semuanya bukan semata-mata saya responsive dan bertanggung jawab dalam sekolah, tapi karena ingin cepat-cepat beres dan menyudahi sementara kegiatan akademis dengan kondisi seperti ini. Lucu memang, entah hanya saya, atau memang semua orang seperti ini; mengeluh apapun alasannya. Dulu, ketika bulan pertama saya tinggal di Oslo, mengerjakan tugas kuliah disaat hamil cukup memberatkan. Apalagi kalau masalah survey. Bawaannya khawatir takut brojol, padahal usia kandungan masih trisemester 2. Jika tiba waktu survey, maka pasukan mahasiswa Indonesia turut “diundang”. Mereka tidak keberatan, karena survey mahasiswa landscape architect cukup menyenangkan; menyusuri sungai Akerselva yang panjangnya lebih dari 8 km. Rombongan yang berjumlah 4 orang, gugur satu per satu. Dan akhirnya tinggallah aku dan Melli yang berhasil mencapai hilir sungai di Opera House Oslo. Tiap malam aku menelepon suami, dan berkeluh kesah. Apapun itu. Capek lah, banyak tugas lah, males masak lah, sampai antri kamar mandi student dorm pun ikut dikeluhkan. Saat aku cuti hamil, akupun mengeluh; boring lah, kebanyakan tidur lah. Semua di ungkap. Hujan datang mengeluh karena becek, angina kencang, mengeluh masuk angin, cuaca cerah, mengeluh ngantuk. Giliran mendapat kenikmatan, akupun lupa bersyukur. Saya baru saja meriset sesuatu, bahwa tingginya ambisi berbanding lurus dengan keluhan. Dulu sewaktu masih bekerja di kantor, saya ingin melanjutkan S2 di luar negeri, setelah saya meraih itu, saya mengeluh capek. Saya punya keinginan untuk belajar bahasa Norway agar lebih bisa beradaptasi, tapi ternyata susah. Mumet otakku untuk mengikuti pelajaran. Lulus nanti saya bercita-cita untuk mencicipi dunia kerja disini, tapi mengeluh bagaimana kalau tidak dapat kerja. Di sela-sela waktu senggang saya mengimpi-impikan akan hidup di Indonesia dalam waktu cepat, saya yakin bakal ada keluhan baru lagi jika ini terealisasi. Emang dasar.
Read More.. Read more...Baru dapet supervisi dari dosen yang jenius. Rasanya mau terbang saja.
Kemarin tatangga sebelah datang untuk mengembalikan piring. Setelah sekian lama kita bertemu dan bahkan bertamu, tapi baru kemarin kami “berkenalan” dalam artian menyebutkan nama kita. Entah kenapa semenjak awal kami bertemu, kami tidak saling berkenalan secara normal seperti biasa. “Halo, nama saya, blabla, nama kamu siapa”, lalu berjabat tangan, lalu kadang kita lupa siapa namanya. Bukan, bukan seperti itu tipe pertemanan kami.Kami berjumpa dan saling menyapa, lalu langsung bercakap-cakap, dan berbasa-basi, dan kadang mengirim makanan atau hadiah kecil. Begitupun seterusnya kita membina pertemanan.
Dia dari Ethiopia, baru saja menyelesaikan kulliahnya di University of Oslo. Suaminya, supir taksi, dan mereka mempunyai 2 putri dan seorang putra yang baru lahir beberapa bulan yang lalu. Saya sempat bingung, seringkali saya melihat lebih dari 3 orang anak di rumahnya. Saya pikir mereka semua anaknya, namun ternyata salah satu dari mereka adalah teman sepermainan putri-putrinya. Mungkin karena mereka sama-sama berkulit gelap, dan saya pun menjeneralisasi, bahwa siapapun itu yang berkulit gelap di tempatnya, adalah saudaranya.
Kemarin dia menyebutkan namanya, namun hari ini saya lupa. Dasar bodoh. Yang saya ingat hanyalah satu putri mereka yang bernama Salsabil, dan putranya bernama Yahya. Saya ingat karena nama tersebut familiar di telinga. Namun, untuk mengingat nama sang ibu.. Duh, siapa ya? Mahdiah, Medina, ah lupa. Tapi kalau tidak salah huruf depannya M. Putri sulungnya bernama.. Ibtida, Idbita, ah, sayapun lupa, tapi kelihatannya berawalan I. Saya tak punya ide akan nama suaminya.
Mungkin inilah yang terjadi dalam hidup manusia. Dia kadang terlalu mudah membuka hati untuk bersosialisasi dengan orang baru, bahkan menjalin hubungan tersebut, tanpa mempedulikan kualitas pertemanannya. Dia hanya menunjukkan itikda baik bersosialisasi, tapi sebenarnya tidak menganggap keberadaannya.
Jikalaupun punya hubungan baik dengan seseorang, kadang dia melupakan betapa berartinya keberadaannya, bahkan cenderung untuk membuat hubungan sosial baru dengan yang lain. Secara intens samapi akhirnya terbentuk cinta yang semu.
Weekend kemarin adalah weekend tersibuk sepanjang sejarah hidup di Norwegia. Tepatnya di hari Minggu, kami mengundang teman-teman Indonesia yang berada di Oslo untuk datang pengajian dan silaturahmi. Mungkin karena budaya kita yang mangan-ora mangan asal ngumpul, jadi apapun kegiatannya, harus disisipi mangan gede yang kadang menjadi acara utama. Oleh karena itu, sayapun pusing dalam menentukan menu masakan. Keinginan untuk membuat acara dengan sempurna membuatku menguras pikiran dan tenaga. Dilain sisi, saya ingin semuanya selesai sebelum Surya datang hari Jumat malam. Otomatis, mulai hari Rabu, aksi belanja dan atur menu mulai dilaksanakan. Soal kuliah, itu urusan belakangan.Yang penting, nanti saya bisa membahagiakan saudara sebangsa yang aku kusayang.
Bagi yang belum terbiasa, menyiapkan menu sendirian untuk lebih dari 20 orang itu terasa menyakitkan. Belum lagi ditambah perasaan was-was kalau makanannya tak enak dan porsinya kurang. Benar-benar galau dibuatnya hatiku. Mungkin support teman-teman yang nantinya akan menyumbang makanan membuatkku lebih lega.Dan semua persiapan lancar sebelum Surya datang.
Hari sabtu kami pergi pusat perbelanjaan bersama Surya dan Zahra untuk membeli perlengkapan yang kurang. Udah paling repot kalau pergi bersama Zahra, seringkali ia berlari kesana kemari di dalam mall. Dan karena dia anak solehah, kadang lantai mall pun dia pel dengan bajunya. Belum lagi ketika tiba waktu makan di tempat umum. Kami berusaha memilih menu yang paling simple untuk ia makan. Tapi sesimpel apapun wujudnya, tetap saja akan menjadi rumit masalahnya. Pasukan nasi bubar dari piringnya, roti tercerai berai, ayam tiba-tiba berpindah di kolong meja. Mungkin dia tiak bermaksud untuk mengacak-ngacak, tapi yah, namanya juga anak kecil lagi bejajar makan dan selalu menolak untuk disuapi.
Sejauh mata memandang di mall itu, saya melihat banyak anak kecil bersama orang tuanya. Dan rata-rata mereka sedang membuat konflik. Ada yang menggeliat di dalam stroller karena ingin keluar, ada juga yang diam mematung tidak mau beranjak dari took mainan. Lucu, dan nyatanya, semua orang tua tetap (dan selalu) akan menyayaginya. Asal sabarnya saja kakak…..
Saya jadi teringat ketika akan berangkat ke Oslo. Seminggu sebelum keberangkatan, aku tidak bisa tidur nyenyak. Rasa khawatir akan kehidupan yang baru, apalagi jauh dari suami dalam kondisi hamil. Namun yang paling menyakitkan bagiku adalah meninggalkan keluarga di Bandung, yang selama ini tidak pernah jauh dariku. Saya dengar ayah merintih lirih di dalam solatnya, semalam sebelum aku pergi. Dan saya yakin itu adalah responnya dalam menghadapi perpisahan kami. Ayah yang terlihat tegar pun tidak mampu menyembunyikan perasaan kehilangan. Ibu yang lebih jujur akan perasaannya, membuatku mentalku bersimpuh. Jatuh di titik terdasa bumi.
Saat klimaks di bandara, saya diantar keluarga bak rombongan haji. Walaupun gegap gempita akan kehadiran sepupu yang kecil-kecil, saya tetap tak sanggup lagi berkata-kata. Mungkin lebih baik mereka tidak mengantarku. Agar mereka tidak melihatku menangis. Waktulah yang mampu memulihkan rasa sedih akah perpisahan sementara itu. Namun drama datang lagi dengan perginya surya dari Oslo ke Stavanger. Di stasiun Oslo S, saya melepas kepergian Surya. Jam raksasa di atasku sangat mengintimidasi. Seolah berkata, waktu untuk bertemu masih panjang dan lama.
Ibu selalu mengingatkan, bagaimanapun kesendirian kita, tapi kita masih punya Allah. Tapi disini, wujud fisik yang nyata akan kehadiran seseorang rupanya sangat berpengaruh. Sejak itulah saya benci perpisahan, karena ia sering mencabik-cabik perasaan.
Di saat acara pengajian selesai, saya membersihkan rumah, Surya menidurkan Zahra di dalam kamar. Dalam dingin dang tenangnya malam di Oslo, saya berpeluh memunguti sampah dan mengepel lantai. Sisa-sisa makanan, mainan yang berserakan, semua menjadi porsi kegiatan malam Senin. Akhir-akhir ini saya memperhatikan kedua telapak tangan yang lebih kasar. Urat-urat di punggung tanganku kini tampak menyembul dengan jelas. Seperti tangan pahlawan yang mengepal semangat merebut dkemerdekaan. Mungkin kalau aku ini lelaki, bisep sudah terolah dengan sempurna. Tapi, dari lubuk hati terdalam, saya puas dan bangga karena bisa melalui hidup ini semua dengan kedua tanganku.
Di malam itu, aku menyaksikan bahwa ternyata, ada cinta dalam setiap duka.
Di jaman modern ini, semua serba digital. Pesan singkat, buku digital, kopdar digital via skype, sampai segala rupa undangan via digital. Ngomong-ngomong soal undangan, seringkali saya mendapat undangan pernikahan lewat facebook. Ada yang memang custom invitation, alias ybs tidak mengundang semua teman di “friendlist” nya, sampai dengan seseorang yang mengundang semua temannya yang lebih dari 1000 orang. Apa dia serius mengundang atau cuma woro-woro saja? Yang lebih membingungkan mungkin undangan yang datangnya bukan dari teman dekat, alias kenalan selewat yang kebetulan jadi friend di fb. Kalau udah gitu, saya jadi bingung mau accept invitation atau decline, atau maybe? Tapi kadang saya memilih golput saja. Pura-pura tak melihat undangan random itu. Memang kejam, tapi lebih kejam lagi kalau ternyata doi “tidak sadar” saya ikut terundang. Seminggu lalu saya mendapat undangan, dari mantan jaman SMP, ehem. Cinta monyet itu sudah melewati dasawarsa, hanya saya penasaran apa dia benar-benar mengundang atau tak sengaja mengundang? Saya cek, dia mengundang sekitar 500 teman, dan friendlist nya berjumlah lebih dari 1000. Ok, mungkin rada selektif, tapi tetap, jumlah itu sangat banyak jika memang semua temannya datang, plus saudaranya, plus undangan dari pihak calon pasangannya. Jadi teringat saat menjelang pernikahanku 3 tahun yang lalu. Soal catering, make-up, rias, saya cenderung cuek dan menyerahkan segalanya pada ibu. Namun giliran menyeleksi undangan, bingungnya minta ampun. Karena terbatasnya kapasitas gedung, otomatis jumlah undanganpun harus dibatasi. Tapi, teman saya kan banyaaaaak. Saudara pun satu miliar jumlahnya. Jika satu diundang, maka yang lainnya harus diundang dengan alas an etika ber-relationship. Pada akhirnya saya bingung, dan sampai sekarang juga masih merasa bersalah atas beberapa pihak yang tidak diundang. Tapi ya sudah lah, mungkin kami akan mengadakan syukuran resepsi lagi dan mengundang lebih banyak handai tolan :D Mungkin, saya terlalu konvensional, lebih memilih sesuatu yang terasa dengan indra peraba. Buku, kertas undangan, surat cinta, dan catatan kecil contekan. Sepertinya, saya orang yang tersesat di masa depan. Sya tau bagaimana cara menghargai preferensi seseorang. Saya lagi tidak di Bandung. Akhirnya, saya memilih tombol “decline”. Premis yang logis.
Read More.. Read more...Awal tahun ini adalah awal dari akhir semester di sekolahku. Ada perasaan sedikit lega karena itu artinya kelulusan sudah di depan mata, namun ada juga perasaan khawatir kalau-kalu saya tidak lulus. Demi itu, saya pun begadang lagi, stress lagi. Walaupun sudah biasa, tapi tekanan seperti itu bukan cara hidup yang saya inginkan.
Bangun pagi, antar Zahra ke barnehage, ke kampus untuk mengerjakan tugas, buru-buru pulang sebelum jam 3 untuk jemput zahra, pulang, jika perlu sambil berlari Karena hampir telat jemput Zahra, sampai rumah; makan, tukar pakaian Zahra, temani zahra tidur, lalu kembali mengerjakan tugas sampai –mungkin- keesokan harinya. Ternyata di hidupku hanya ada dua hal, tugas sekolah dan anak. Tugas kian menantang dengan dosen jenius yang bikin pusing. Zahra beranjak menjadi bayi dewasa dengan segala tuntutan dan perannya sebagai direktur utama di rumah kadang membuat sakit kepala. Hanya bedanya, Zahra sering membuat saya tersenyum.
Nama saya Annisa. Saya adalah seorang ibu, istri, mahasiswa, dan manajer rumah tangga. Mungkin lebih tepatnya babu rumah.Saat ini saa berada di Norwegia. Tersesat di dinginnya kota Oslo. Kalau orang bertanya kenapa saya ada disini, mungkin pelaku utama yang saya tunjuk adalah suami. Yang sekarang tidak hidup sekota denganku karena alas an lokasi sekolah dan tempat kerja kami yang berbeda. Dia di Stavanger, 400 km dari Oslo. Karena saya cinta sama suami dan tidak mau pisah negara, saya pun ikut meramaikan rencana studi nya di Norwegia. Kalau ada orang bertanya lagi kenapa kami beda Kota, jawabannya karena jurusan sekolah kami yang tidak mendukung untuk satu Kota. Kalau ada lagi pertanyaan; kok bisa? Mungkin itu kehendak yang maha kuasa. Setelah itu, tidak terelakkan, pujian akan kemandirianku mengalir. Tak sedikit pula ada yang meringis karena merasa prihatin. Yah, saya sih hanya bisa pasrah dan hamdalah secara bersamaan.
Seringkali saya mengeluh dan mengaduh karena situasi ini. Tapi dibalik itu, ada sebuah hikmah yang sangat besar, tidak disadari, karena ia sangat rendah hati. Hikmah itu berupa pelajaran untuk mandiri dan kuat. Adakalanya dibalik kemandirian, saya merasa tidak membutuhkan orang lain, bahkan suami sendiri. Kebiasaan hidup sendiri awalna memang sulit, pelan tapi pasti, saya terbiasa dengan hidup seperti ini walaupun sambil tertatih-tatih. Tapi, di sudut itu semua, saya marasa kesepian. Rasa sepi ini mampu mengalahkan segala derita akan pekerjaan berat sebagai mahasiswa dan seorang ibu. Entah itu pergi ke kampus, bertemu teman-teman, jalan-jalan di keramaian kota, atau apapun bentuk interaksi social lainnya, tapi saya masih merasa sendiri, tanpa siapa-siapa yang melihat dengan kedua mata.
Sepi sekali hidup ini. Seperti hidup di luar angkasa yang sangat luas, tanpa gravitasi.
© Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP