Love within all pains.

>> Senin, 21 Januari 2013

Weekend kemarin adalah weekend tersibuk sepanjang sejarah hidup di Norwegia. Tepatnya di hari Minggu, kami mengundang teman-teman Indonesia yang berada di Oslo untuk datang pengajian dan silaturahmi. Mungkin karena budaya kita yang mangan-ora mangan asal ngumpul, jadi apapun kegiatannya, harus disisipi mangan gede yang kadang menjadi acara utama. Oleh karena itu, sayapun pusing dalam menentukan menu masakan. Keinginan untuk membuat acara dengan sempurna membuatku menguras pikiran dan tenaga. Dilain sisi, saya ingin semuanya selesai sebelum Surya datang hari Jumat malam. Otomatis, mulai hari Rabu, aksi belanja dan atur menu mulai dilaksanakan. Soal kuliah, itu urusan belakangan.Yang penting, nanti saya bisa membahagiakan saudara sebangsa yang aku kusayang

Bagi yang belum terbiasa, menyiapkan menu sendirian untuk lebih dari 20 orang itu terasa menyakitkan. Belum lagi ditambah perasaan was-was kalau makanannya tak enak dan porsinya kurang. Benar-benar galau dibuatnya hatiku. Mungkin support teman-teman yang nantinya akan menyumbang makanan membuatkku lebih lega.Dan semua persiapan lancar sebelum Surya datang. Hari sabtu kami pergi pusat perbelanjaan bersama Surya dan Zahra untuk membeli perlengkapan yang kurang. Udah paling repot kalau pergi bersama Zahra, seringkali ia berlari kesana kemari di dalam mall. Dan karena dia anak solehah, kadang lantai mall pun dia pel dengan bajunya. Belum lagi ketika tiba waktu makan di tempat umum. Kami berusaha memilih menu yang paling simple untuk ia makan. Tapi sesimpel apapun wujudnya, tetap saja akan menjadi rumit masalahnya. Pasukan nasi bubar dari piringnya, roti tercerai berai, ayam tiba-tiba berpindah di kolong meja. Mungkin dia tiak bermaksud untuk mengacak-ngacak, tapi yah, namanya juga anak kecil lagi bejajar makan dan selalu menolak untuk disuapi. 

Sejauh mata memandang di mall itu, saya melihat banyak anak kecil bersama orang tuanya. Dan rata-rata mereka sedang membuat konflik. Ada yang menggeliat di dalam stroller karena ingin keluar, ada juga yang diam mematung tidak mau beranjak dari took mainan. Lucu, dan nyatanya, semua orang tua tetap (dan selalu) akan menyayaginya. Asal sabarnya saja kakak….. Saya jadi teringat ketika akan berangkat ke Oslo. Seminggu sebelum keberangkatan, aku tidak bisa tidur nyenyak. Rasa khawatir akan kehidupan yang baru, apalagi jauh dari suami dalam kondisi hamil. Namun yang paling menyakitkan bagiku adalah meninggalkan keluarga di Bandung, yang selama ini tidak pernah jauh dariku. Saya dengar ayah merintih lirih di dalam solatnya, semalam sebelum aku pergi. Dan saya yakin itu adalah responnya dalam menghadapi perpisahan kami. Ayah yang terlihat tegar pun tidak mampu menyembunyikan perasaan kehilangan. Ibu yang lebih jujur akan perasaannya, membuatku mentalku bersimpuh. Jatuh di titik terdasa bumi. Saat klimaks di bandara, saya diantar keluarga bak rombongan haji. Walaupun gegap gempita akan kehadiran sepupu yang kecil-kecil, saya tetap tak sanggup lagi berkata-kata. Mungkin lebih baik mereka tidak mengantarku. Agar mereka tidak melihatku menangis. Waktulah yang mampu memulihkan rasa sedih akah perpisahan sementara itu. Namun drama datang lagi dengan perginya surya dari Oslo ke Stavanger. Di stasiun Oslo S, saya melepas kepergian Surya. Jam raksasa di atasku sangat mengintimidasi. Seolah berkata, waktu untuk bertemu masih panjang dan lama. 

Ibu selalu mengingatkan, bagaimanapun kesendirian kita, tapi kita masih punya Allah. Tapi disini, wujud fisik yang nyata akan kehadiran seseorang rupanya sangat berpengaruh. Sejak itulah saya benci perpisahan, karena ia sering mencabik-cabik perasaan. Di saat acara pengajian selesai, saya membersihkan rumah, Surya menidurkan Zahra di dalam kamar. Dalam dingin dang tenangnya malam di Oslo, saya berpeluh memunguti sampah dan mengepel lantai. Sisa-sisa makanan, mainan yang berserakan, semua menjadi porsi kegiatan malam Senin. Akhir-akhir ini saya memperhatikan kedua telapak tangan yang lebih kasar. Urat-urat di punggung tanganku kini tampak menyembul dengan jelas. Seperti tangan pahlawan yang mengepal semangat merebut dkemerdekaan. Mungkin kalau aku ini lelaki, bisep sudah terolah dengan sempurna. Tapi, dari lubuk hati terdalam, saya puas dan bangga karena bisa melalui hidup ini semua dengan kedua tanganku. 

Di malam itu, aku menyaksikan bahwa ternyata, ada cinta dalam setiap duka.

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP