Awal Langkah Sepiku

>> Rabu, 16 Januari 2013

Awal tahun ini adalah awal dari akhir semester di sekolahku. Ada perasaan sedikit lega karena itu artinya kelulusan sudah di depan mata, namun ada juga perasaan khawatir kalau-kalu saya tidak lulus. Demi itu, saya pun begadang lagi, stress lagi. Walaupun sudah biasa, tapi tekanan seperti itu bukan cara hidup yang saya inginkan. Bangun pagi, antar Zahra ke barnehage, ke kampus untuk mengerjakan tugas, buru-buru pulang sebelum jam 3 untuk jemput zahra, pulang, jika perlu sambil berlari Karena hampir telat jemput Zahra, sampai rumah; makan, tukar pakaian Zahra, temani zahra tidur, lalu kembali mengerjakan tugas sampai –mungkin- keesokan harinya. Ternyata di hidupku hanya ada dua hal, tugas sekolah dan anak. Tugas  kian menantang dengan dosen jenius yang bikin pusing.  Zahra beranjak menjadi bayi dewasa dengan segala tuntutan dan perannya sebagai direktur utama di rumah kadang membuat sakit kepala. Hanya bedanya, Zahra sering membuat saya tersenyum.  

Nama saya Annisa. Saya adalah seorang ibu, istri, mahasiswa, dan manajer rumah tangga. Mungkin lebih tepatnya babu rumah.Saat ini saa berada di Norwegia. Tersesat di dinginnya kota Oslo. Kalau orang bertanya kenapa saya ada disini, mungkin pelaku utama yang saya tunjuk adalah suami. Yang sekarang tidak hidup sekota denganku karena alas an lokasi sekolah dan tempat kerja kami yang berbeda. Dia di Stavanger, 400 km dari Oslo. Karena saya cinta sama suami dan tidak mau pisah negara, saya pun ikut meramaikan rencana studi nya di Norwegia. Kalau ada orang bertanya lagi kenapa kami beda Kota, jawabannya karena jurusan sekolah kami yang tidak mendukung untuk satu Kota. Kalau ada lagi pertanyaan; kok bisa? Mungkin itu kehendak yang maha kuasa. Setelah itu, tidak terelakkan, pujian akan kemandirianku mengalir. Tak sedikit pula ada yang meringis karena merasa prihatin. Yah, saya sih hanya bisa pasrah dan hamdalah secara bersamaan.

Seringkali saya mengeluh dan mengaduh karena situasi ini. Tapi dibalik itu, ada sebuah hikmah yang sangat besar, tidak disadari, karena ia sangat rendah hati. Hikmah itu berupa pelajaran untuk mandiri dan kuat. Adakalanya dibalik kemandirian, saya merasa tidak membutuhkan orang lain, bahkan suami sendiri. Kebiasaan hidup sendiri awalna memang sulit, pelan tapi pasti, saya terbiasa dengan hidup seperti ini walaupun sambil tertatih-tatih. Tapi, di sudut itu semua, saya marasa kesepian. Rasa sepi ini mampu mengalahkan segala derita akan pekerjaan berat sebagai mahasiswa dan seorang ibu. Entah itu pergi ke kampus, bertemu teman-teman, jalan-jalan di keramaian kota, atau apapun bentuk interaksi social lainnya, tapi saya masih merasa sendiri, tanpa siapa-siapa yang melihat dengan kedua mata. 

Sepi sekali hidup ini. Seperti hidup di luar angkasa yang sangat luas, tanpa gravitasi.

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP