Lemari

>> Kamis, 22 Agustus 2013

Banyak yang tidak sadar bahwa lemari adalah refleksi  dari kehidupan pribadi kita. Lemari perlu ditutup dan kadang dikunci.  Begitu pula dengan diri kita yang perlu dijaga privasinya. Lemari dibuat dari berbagai jenis warna dan material yang berbeda. Ada yang sangat gelap, ada juga yang cerah. Ada yang terbuat dari kayu jati yang keras, dan ada yang hanya ditutup sehelai kain menerawang. Belakangan saya melihat ada lemari yang  terbuat dari metal tanpa penutup. Lemari yang hanya tersusun dari rangka metal. Mirip jerangkong yang seluruh jiwanya terekspos. Itu pasti bukan lemari saya.

Beberapa minggu lalu saya menempati rumah baru. Di dalamnya belum ada lemari. Kala itu pakaian bertumpuk tak beraturan di atas kopor yang selalu terbuka. Properti lain yang biasa kusimpan dalam lemari, berserakan minta dicuri. Beragam barang  tidak terorganisir dengan rapi, semua tercerai berai seperti uang gopek saweran. Saya tidak bisa lagi mengelompokkan jenis baju, tak bisa lagi memilah dokumen yang masuk di lemari, dan tidak bisa lagi meyembunyikan pakaian kotor dibalik pintu lemari.  Disaat itu saya kehilangan sebuah perangkat untuk mengatur diri. Oleh karenanya, fokus pada saat itu adalah membeli lemari. Saya menangguh untuk membeli ranjang dan tidur di atas lantai beralas matras hanya untuk memprioritaskan membeli sebuah lemari. Sungguh! Namun sayangnya, tidak gampang mendapatkan lemari yang pas. Untuk yang berkualitas bagus, harganya terlalu mahal. Untuk kualitas “kw3”, “kw4”, sampai kalong wewe, hati ini tidak sudi menerima. Untuk yang kualitas menengah…… rasanya saya ingin membeli kualitas bagus dengan harga seminim mungkin. Demikian prinsip ekonomi (orang pas-pasan).  Akibatnya pertimbangan itu lemaripun tak kunjung hadir di rumah. Beribu toko sudah disambangi. Belum ada yang pas dihati. Kalaupun ada, harganya tidak pas di kantong. Sayapun seringkali pulang dengan tangan kosong.

Bukan berarti saya kaum ekstrimis kere. Tapi ada hal yang membuat saya bingung memilih lemari. Rumah yang sekarang ditempati adalah rumah sementara. Saya ingin mempunyai lemari yang berkapasitas besar (karena rumah ini tidak ada gudang), namun mudah untuk dibongkar-pasang. Sayapun ingin yang berkualitas bagus sebagai investasi jangka panjang, Tapi saya juga ingin yang harganya tergangkau.

Seminggu tanpa lemari jiwa ini galau. Apalagi ketika Zahra berpartisipasi untuk mengobrak-abrik isi kopor. Ikat pinggang, celana dalam, kacamata, dan beberapa mainan Zahra bergabung dalam satu paguyuban. Cucian kering dan wangi yang seharusnya langsung masuk lemari, terpaksa ditata diatas meja belajar. Sudah tak kuat lagi, akhirnya saya mantap memiilih satu jenis lemari. Disertai Bismillah, saya pergi ke toko, dan menanyakan barang itu. Ternyata, barangnya tidak ada. Selanjutnya saya menyambangi toko lain. Ada! Namun harus memesan selama satu minggu. Orang sabar disayang Tuhan, saya pun memesan dan menunggu seminggu lagi.

Lemariku adalah separuh jiwa yang belum datang. Dibaliknya biasa saya simpan segalanya. Baju hitam, baju putih. Kain kasar, kain lembut. Dokumen penting, properti pribadi, perhiasan, dan sejuta dolar (yang ini bohong).. Kalau lemari mulai berantakan, saya harus segera bebenah, jangan sampai area pakaian dalam bercampur dengan sejuta dolarku itu. Manifestasi sebuah lemari merupakan sejuta sisi dalam diri saya. Jika ada yang menanyakan tentang saya, tanya saja nanti lemariku.

Seminggu tiba saatnya. Saya bersiap menjemput lemari. Namun sang petugas toko berujar lewat telepon bahwa lemari belum tiba, dan harus menunggu tiga hari berikutnya. Ternyata, masih harus menunggu beberapa hari sampai hidup ini sedikit lebih teratur. Dan sejujurnya, sayapun belum yakin berapa jumlah lemari yang benar-benar membuat diri ini "teratur".

Kampret!

0 komentar:

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP