Secangkir Kopi di Rabu Pagi - PROLOG
>> Rabu, 28 Agustus 2013
Read More.. Read more...
Banyak yang tidak sadar bahwa
lemari adalah refleksi dari kehidupan
pribadi kita. Lemari perlu ditutup dan kadang dikunci. Begitu pula dengan diri kita yang perlu
dijaga privasinya. Lemari dibuat dari berbagai jenis warna dan material yang
berbeda. Ada yang sangat gelap, ada juga yang cerah. Ada yang terbuat dari kayu
jati yang keras, dan ada yang hanya ditutup sehelai kain menerawang. Belakangan
saya melihat ada lemari yang terbuat
dari metal tanpa penutup. Lemari yang hanya tersusun dari rangka metal. Mirip jerangkong
yang seluruh jiwanya terekspos. Itu pasti bukan lemari saya.
Beberapa minggu lalu saya
menempati rumah baru. Di dalamnya belum ada lemari. Kala itu pakaian bertumpuk tak
beraturan di atas kopor yang selalu terbuka. Properti lain yang biasa kusimpan
dalam lemari, berserakan minta dicuri. Beragam barang tidak terorganisir dengan rapi, semua tercerai
berai seperti uang gopek saweran. Saya tidak bisa lagi mengelompokkan jenis
baju, tak bisa lagi memilah dokumen yang masuk di lemari, dan tidak bisa lagi meyembunyikan
pakaian kotor dibalik pintu lemari.
Disaat itu saya kehilangan sebuah perangkat untuk mengatur diri. Oleh
karenanya, fokus pada saat itu adalah membeli lemari. Saya menangguh untuk membeli
ranjang dan tidur di atas lantai beralas matras hanya untuk memprioritaskan membeli
sebuah lemari. Sungguh! Namun sayangnya, tidak gampang mendapatkan lemari yang
pas. Untuk yang berkualitas bagus, harganya terlalu mahal. Untuk kualitas “kw3”,
“kw4”, sampai kalong wewe, hati ini tidak sudi menerima. Untuk yang kualitas menengah……
rasanya saya ingin membeli kualitas bagus dengan harga seminim mungkin.
Demikian prinsip ekonomi (orang pas-pasan).
Akibatnya pertimbangan itu lemaripun tak kunjung hadir di rumah. Beribu
toko sudah disambangi. Belum ada yang pas dihati. Kalaupun ada, harganya tidak
pas di kantong. Sayapun seringkali pulang dengan tangan kosong.
Bukan berarti saya kaum
ekstrimis kere. Tapi ada hal yang membuat saya bingung memilih lemari. Rumah
yang sekarang ditempati adalah rumah sementara. Saya ingin mempunyai lemari
yang berkapasitas besar (karena rumah ini tidak ada gudang), namun mudah untuk
dibongkar-pasang. Sayapun ingin yang berkualitas bagus sebagai investasi jangka
panjang, Tapi saya juga ingin yang harganya tergangkau.
Seminggu tanpa lemari jiwa
ini galau. Apalagi ketika Zahra berpartisipasi untuk mengobrak-abrik isi kopor.
Ikat pinggang, celana dalam, kacamata, dan beberapa mainan Zahra bergabung dalam
satu paguyuban. Cucian kering dan wangi yang seharusnya langsung masuk lemari,
terpaksa ditata diatas meja belajar. Sudah tak kuat lagi, akhirnya saya mantap
memiilih satu jenis lemari. Disertai Bismillah, saya pergi ke toko, dan
menanyakan barang itu. Ternyata, barangnya tidak ada. Selanjutnya saya
menyambangi toko lain. Ada! Namun harus memesan selama satu minggu. Orang sabar
disayang Tuhan, saya pun memesan dan menunggu seminggu lagi.
Lemariku adalah separuh jiwa yang
belum datang. Dibaliknya biasa saya simpan segalanya. Baju hitam, baju putih.
Kain kasar, kain lembut. Dokumen penting, properti pribadi, perhiasan, dan sejuta
dolar (yang ini bohong).. Kalau lemari mulai berantakan, saya harus segera
bebenah, jangan sampai area pakaian dalam bercampur dengan sejuta dolarku itu. Manifestasi
sebuah lemari merupakan sejuta sisi dalam diri saya. Jika ada yang menanyakan
tentang saya, tanya saja nanti lemariku.
Seminggu tiba saatnya. Saya
bersiap menjemput lemari. Namun sang petugas toko berujar lewat telepon bahwa
lemari belum tiba, dan harus menunggu tiga hari berikutnya. Ternyata, masih harus
menunggu beberapa hari sampai hidup ini sedikit lebih teratur. Dan sejujurnya, sayapun belum yakin berapa jumlah lemari yang benar-benar membuat diri ini "teratur".
Kampret!
© Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP