Siang ini saya
menyerahkan tugas ‘home exam’ ke petugas administrasi universitas. Beberapa
hari sebelumnya saya merasa kalau hasil dari tugas ini akan menjanjikan. Namun
semalam perasaan itu sedikit luntur. Saya merasa tidak maksimal dalam hal
pengerjaan, dan setelah melihat versi cetak tugas ini.. kelihatannya saya tidak
bisa berharap banyak. ‘Tapi sudahlah, toh kuliah s2 yang kedua kali ini harus
lebih santai dan nothing to lose. Harus dinikmati tanpa tekanan.’ Begitulah
kira-kira suara batin saya sebagai justifikasi dari segala kebodohan.
Pagi hari sebelum
menyerahkan tugas, saya bertekad untuk tidak melihat hasil tugas teman lain.
Karena, saya khawatir (yakin) tugas mereka lebih baik. Akibatnya pikiran ini
pasti galau, hati yang tadinya besar karena harapan menciut bak saldo tabungan.
Tiba-tiba ada salah satu teman yang ingin melihat tugas saya. Sayapun tak
keberatan. Namun dia memaksa untuk memperlihatkan tugasnya. Saya keberatan. Tapi,
sungguh kurang ajar jika acuh dan menolak tawarannya. Saya membuka selembar
demi selembar booklet karyanya. Karyanya tidak sesederhana yang saya buat.
Lembaran berikutnya berlanjut, lalu terus, dan terus. Saya tidak membaca
tulisannya, tetapi menghitung lembaran bookletnya. Mak, betapa banya analisis
yang dia buat. Tak peduli kualitas grafis atau penjelasannya, tapi sesuatu mulai
membuat saya merasa jadi orang paling tidak berprestasi.
|
Mess on me |
Saya meninggalkan
kampus dengan menyisakan galau dan risau, lalu akupun meracau. Saya tahu saya
bisa lebih baik, tapi mungkin saya memilih tidak untuk itu. Disini krisis
terendah dari rangkaian kehidupan sebagai mahasiswa. Berusaha membesarkan hati
dengan slogan ‘nothing to lose’ tapi membal. Berusaha mengalihkan perasaan
dengan hiburan ternyata mustahil. Sambil menyetir, pikiran ini kilas balik ke
beberapa hari yang lalu, ketika saya mengerjakan tugas sambil menonton House of
Cards. Mata kiri melihat layar Ipad, dan kanan melihat layar laptop. Otak kana
kiri bercampur aduk antara mencerna plot cerita dan menuangkan ide untuk tugas.
Telinga sudah pasti hanya berpartisipasi dengan tayangan itu. Mungkin orang
akan bilang kalau belajar sambil menonton adalah biang kerok dari kerja yang
tidak optimal. Tapi, dari sekian sedikit prestasi yang diraih, multitasking
adalah keahlian besar saya yang tidak tercetak di CV. Yakinlah bukan karena itu
penyebabnya. Lalu perasaan menyesal karena saya memilih tidur daripada begadang
sampai pagi untuk mengerjakan ini. Tapi, bukankah memang kita harus tidur
supaya sehat?
Mobil saya parkir
rapi di depan rumah teman. Kebetulan sore itu saya akan meminjam alat masak
darinya. Kami mengobrol sedikit, ketawa ketiwi seakan saya sedang berada di
mood jannah. Kelihatannya diapun terhibur karena saya. Lalu mobil melaju kembali
dan berlari menjemput Zahra. Melihat kedatangan saya, Zahra sumringah. Saya pun
meraih dan memeluknya, mirip adegan ibu yang lama tak bertemu anaknya karena
pesantren selama 3 tahun. Senyum ini selalu menghias wajah saya ketika
mendengan ocehannya. Tanggapan bijak seorang ibu saya lontarkan sembari
membereskan barang-barang dan bekalnya. Kadang saya melucu dan diapun
terpingkal. Saya yakin dia bahagia punya ibu seperti diri ini.
Sampai dirumah,
bisa ditebak, sayapun langsung ke dapur dan memasak untuk makan malam. Apapun
masakannya, saya selalu memastikan kalau rasa asinnya pas. Alasannya adalah
suami saya hanya tahu kalau bumbu masak itu adalah garam, dan anak saya percaya
kalau asin dan gurih itu adalah enak. Semua berjalan normal dan membahagiakan.
Tak ada raut muka bekas kejadian di kampus. Tak ada ekspresi galau.
Frank Underwood
adalah pemeran utama yang antagonis di fil House of Cards. Dia dicinta untuk
dibenci. Diperankan oleh Kevin Spacey sang idola, Frank adalah presiden Amerika
yang sangat ambisius. Semua orang disekelilingnya menganggap permainannya kotor,
tapi dia jujur dengan tidak membantah dan dan meyakinkan bahwa mereka pun sama
sepertinya. Dia tak mengerti apa yang ia butuhkan, tapi dia tahu apa yang dia
impiannya. Dia sangat mengerti dirinya, dan tahu bagaimana cara memuaskan
keinginannya. Apapun gejolak yang dihadapinya, dia mampu menutupi dengan
lapisan tipis dari ketenangan dan kewibawaannya.
I am fooling
myself and my life fools me back. There’s not much to defend but just being
simply cool as Francis Underwood...
Read More..
Read more...